Senin, 05 Januari 2009

RUQYAH DALAM PANDANGAN AKIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH

RUQYAH DALAM PANDANGAN

AKIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH

PAPER

Diajukan untuk memenuhi dan melengkapi

persyaratan Evaluasi Belajar Tingkat

Mu’allimin dan Aliyah

Disusun Oleh :

MUHAMAD RIDWAN FAUZI

NIS : 02031088

PESANTREN PERSATUAN ISLAM NO. 99 RANCABANGO

TAROGONG KALER GARUT

TAHUN 2005 M / 1426 H

RUQYAH DALAM PANDANGAN

AKIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH

Disusun oleh :

MUHAMAD RIDWAN FAUZI

NIS : 02031088

Disetujui oleh :

Pembimbing I Pembimbing II

Ust. Endang Saepudin Ust. Ridwan S.Pd.I

NIAT : NIAT :

Mengetahui,

Mudir Mu’allimin Pimpinan Pesantren

Ust. Ena Sumpena K.H. Aceng Zakaria

NIAT : NIAT :

PENGESAHAN

Paper yang berjudul Ruqyah dalam Pandangan Akidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah telah disahkan dalam sidang munaqosah Pesantren Persatuan Islam 99 Rancabango Tarogong kaler Garut.

Hari, Tanggal : 10 Mei 2005 M


MOTTO DAN PERSEMBAHAN



“Tidak ada kemenangan kecuali dengan kekuatan. Tidak ada kekuatan kecuali dengan persatuan. Tidak ada persatuan kecuali dengan keutamaan. Tidak ada keutamaan kecuali dengan Islam. Islam tidak bisa hidup kecuali dengan da’wah. Da’wah tidak bisa berjalan kecuali dengan jihad. Dan jihad tidak dapat berjalan kecuali dengan landasan Iman “.

(Umar bin Khathab).

“Tenggelam tidak berarti menghilang, sebab keterasingan adalah jalan menuju Tuhan”.

(dr2faSya).



Kupersembahkan teruntuk :

“Ayah dan Ibu tercinta yang telah menuntunku memaknai arti sebuah kehidupan, yang telah mencurahkan segala pengorbanannya, serta yang selalu mendo’akanku di sepanjang waktu. Kakak-kakakku tercinta yang selalu memberikan spirit disaat ku rapuh mengarungi hidup serta adik-adikku tersayang yang selalu menjadi sumber inspirasi agar ku bisa tetap bertahan dalam hidup demi untuk menorehkan sejarah emas yang kan mereka saksikan kala masanya tiba …”


KATA PENGANTAR PENULIS

Alhamdulillahi Rabbil‘aalamien.

Setelah penulis memanjatkan puji serta rasa syukur ke hadirat Ilahi Rabbi, maka penulis mengharapkan mudah-mudahan segala usaha yang dilakukan dalam mewujudkan karya tulis ini merupakan ibadah kepada Allah Swt. Dengan petunjuk serta inayah-Nya, alhamdulillah akhirnya penulis dapat menyelesaikan penyusunan karya tulis ini yang berjudul ‘RUQYAH DALAM PANDANGAN AKIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH’. Hal ini tiada lain bertujuan untuk memberikan kontribusi yang berarti bagi agama dan umat Islam, juga sebagai salah satu cara menyikapi fenomena yang nampak di masyarakat kita sekarang yang khususnya berkenaan dengan masalah ubudiyyah yakni tentang masalah ruqyah.

Penulis merasakan dan menyadari bahwa dalam menyusun karya tulis ini banyak sekali halangan dan rintangan yang penulis temui, akan tetapi berkat perhatian serta bimbingan dari berbagai pihak, Alhamdulillah karya tulis ini dapat terselesaikan. Untuk itu selayaknyalah penulis menghaturkan hormat dan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya atas bantuan dan bimbingan yang sangat berharga, yaitu kepada :

1. Ayahanda serta ibunda tercinta yang telah membesarkan, mendidik, membimbing, memberi semangat, serta mendo’akan penulis dengan tiada henti-hentinya.

2. Al-Ustadz K.H. Aceng Zakaria sebagai Mudirul ‘Aam juga Al-Ustadz Ena Sumpena sebagai Mudir Mu’allimien Pesantren Persatuan Islam no. 99 Rancabango Tarogong Kaler Garut.

3. Al-Ustadz Endang Saepudin S.Ag dan Al-Ustadz Ridwan S.Pd.I sebagai pembimbing, yang telah banyak membantu memberikan pengarahan dalam penyelesaian karya tulis ini, begitu juga atas waktu yang telah diluangkannya untuk membimbing penulis. Jazaakumullahu khairan katsieran.

4. Kepada seluruh jajaran Asatidz dan Asatidzah yang telah berjasa dalam memberi ilmu pengetahuan sebagai bekal berharga bagi penulis.

5. Para Muharrik Al-Lughah, wa bil khusus Al-Ustadz Iman, Ustadz Shalihin, Ustadz Acep, Ustadz Dian Hardi. syukran jiddan atas pengalaman, pengarahan serta ilmu lughahnya. Tak lupa pula kepada ustadz-ustadz budzank, Ustadz Aip, Ustadz Dikdik, Ustadz Eri, dan yang lainnya. Syukran.

6. Rekan-rekan seperjuangan di kelas Mu’allimien 3B dan 3A atas kebersamaannya selama ini, serta kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang begitu banyak memberikan dorongan dan bantuan dalam pembuatan karya tulis ini.

Semoga Allah Swt membalas semua kebaikan yang telah diberikan kepada penulis dengan ganjaran pahala yang berlipat, penulis ucapkan Jazaakumullahu Khairan Katsieran.

Tersusun baiknya karya tulis ini adalah harapan penulis, akan tetapi kemampuanlah yang membatasinya. Penulis menyadari di dalam penyusunan karya tulis ini terdapat banyak sekali kekurangan. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan tegur sapa dari semua pihak baik itu berupa kritik dan saran yang bersifat membangun guna sebagai bahan perbaikan bagi karya tulis ini.

Akhir kata hanya kepada Allah Swt segala sesuatu kembali, mudah-mudahan dengan disusunnya karya tulis ini sedikit banyaknya dapat memberikan manfaat bagi semuanya, khususnya bagi penulis sendiri.

Allahu ya’khudzu biaydiina ilaa maa fiihi khairan lil islaami wal musliimiin.

Bandung, 25 April 2005

Penulis


DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

KATA PENGANTAR PENULIS i

DAFTAR ISI iv

BAB I : PENDAHULUAN

I. Latar Belakang Masalah 1

II. Perumusan Masalah 4

III. Tujuan Penulisan 4

IV. Metode Penulisan 4

V. Sistematika Penulisan 5

BAB II : PENGERTIAN RUQYAH, AKIDAH, dan AHLU SUNNAH

WAL JAMA’AH

I. Pengertian Ruqyah 6

II. Perintah dan Macam-macam ruqyah 12

III. Ketentuan-ketentuan Ruqyah 19

IV. Pengertian Aqidah 23

V. Pengertian Ahlus Sunnah Wal Jama’ah 26

BAB III : RUQYAH DALAM PANDANGAN AKIDAH AHLUS

SUNNAH WAL JAMA’AH

I. Hubungan Ruqyah dengan I’tikad 42

II. Ruqyah adalah Tauqifiyah 60

III. Ruqyah sebagai Obat bagi Setiap Penyakit 64

IV. Hukum Mengkhususkan Diri Menjadi Peruqyah 69

BAB IV : PENUTUP

I. Kesimpulan 78

II. Saran-saran 80

DAFTAR PUSTAKA

BIOGRAFI PENULIS



BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tidak diragukan lagi bahwa penyembuhan dengan Al-Qur’an dan dengan apa yang ditegaskan dari Nabi berupa ruqyah merupakan penyembuhan yang bermanfaat sekaligus penawar yang sempurna. Allah Swt berfirman dalam kitab-Nya, yakni dalam surat Fushshilat ayat 44 yang berbunyi :

... قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ آمَنُوا هُدًى وَشِفَاءٌ ( فصلت: 44 ).

Artinya : “Katakanlah, Al-Qur’an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman”. ( Majma Al Malik, 1418 H : 779).

وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ ( ألإسراء :82).

Artinya : “Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman”. (Majma Al Malik, 1418:437).

Dengan demikian Al-Qur’an merupakan penyembuh yang sempurna di antara seluruh obat hati dan juga obat fisik sekaligus sebagai obat bagi seluruh penyakit dunia dan akhirat.

Tidak semua orang mampu untuk melakukan penyembuhan dengan Al-Qur’an. Jika pengobatan dan penyembuhan itu dilakukan secara baik terhadap penyakit, dengan didasari kepercayaan dan keimanan, penerimaan yang penuh, keyakinan yang pasti dan sesuai dalam pemenuhan syarat-syaratnya, maka tidak ada satu penyakit pun yang tidak mampu disembuhkan dengan Al-Qur’an.

Bagaimana mungkin penyakit-penyakit itu akan menantang dan melawan firman-firman Rabb bumi dan langit yang mana jika seandainya firman-firman itu turun ke gunung, niscaya gunung tersebut akan hancur berkeping-keping. Oleh karena itu, tidak ada satu penyakit hati dan juga penyakit fisik pun melainkan di dalam Al-Qur’an terdapat jalan penyembuhannya. Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah pernah berkata : “Barang siapa yang tidak dapat disembuhkan oleh Al-Qur’an, berarti Allah Swt tidak memberikan kesembuhan kepadanya”. (Muhiburrahman, 2004).

Melihat fenomena yang ada sekarang ini, khususnya di kalangan masyarakat. Permasalahan mengenai ruqyah ini (do’a-do’a untuk kesembuhan suatu penyakit yang diderita seseorang) seolah-olah memang sedang menjamur di kalangan masyarakat kita sekarang ini. Kenapa dikatakan demikian ?, karena terbukti dengan mulai banyaknya orang-orang yang menawarkan ruqyah kepada siapa saja yang menderita suatu penyakit, dengan maksud untuk mendapat ketenaran atau untuk mendapatkan uang (kecuali mereka yang dijaga oleh Allah Swt).

Demikian mereka melakukan hal ini sehingga mereka menjadi terkenal di kalangan masyarakat, dihormati dan didatangi dari berbagai pelosok daerah. Bahkan untuk memperoleh semua itu, mereka tidak segan-segan melepaskan kesibukan-kesibukan mereka yang lainnya hanya untuk meruqyah. Sehingga dengan demikian orang-orang pun menggantungkan harapan kepada mereka. Mereka (masyarakat) menyangka bahwa tukang-tukang ruqyah itulah yang sebenarnya merupakan penyebab utama dari kesembuhan mereka, bukan dari bacaan-bacaan (dzikir-dzikir dan do’a) yang dibaca. Terlebih lagi terhadap orang yang lemah keimanannya, kurang tawakal kepada Allah Swt serta keadaan mereka yang diliputi oleh kebodohan.

Demi mendapatkan keuntungan yang lebih besar dan dengan memanfaatkan perasaan si penderita serta keluarganya, para tukang sulap dan pembohong besar ini tidak segan-segan menampakkan diri mereka, seolah-olah merekalah wali-wali Allah Swt. Namun yang sebenarnya malah sebaliknya, mereka mencampuradukkan antara yang haq dengan yang bathil, mereka bungkus kebohongan mereka dengan sandiwara dan kepura-puraan.

Oleh sebab itu, dalam pembahasan karya tulis ini, penulis mencoba sedikit mengupas permasalahan mengenai apa yang dinamakan dengan ruqyah, demi untuk membedakan antara ruqyah yang syar’I dengan ruqyah lainnya, untuk menjelaskan dampaknya terhadap aqidah dan bagaimana cara salafus shalih rahimahumullah dalam mengobati pasien mereka dengan menggunakan ruqyah, serta bagaimana pandangan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yakni “orang-orang yang mengikuti aqidah Islam yang benar, komitmen dengan manhaj Rasulullah saw bersama para sahabat dan tabi’in dan semua generasi yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat”. (Matta, T.T : 8) terhadap masalah ruqyah ini. Dari fenomena tersebut di atas, maka penulis bermaksud menjadikannya sebagai bahan dasar dari pembuatan karya tulis ini yang penulis beri judul Ruqyah dalam Pandangan Akidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.

B. Perumusan Masalah

Sebagaimana tercantum dalam bimbingan karya tulis yang penulis pelajari, maka penulis membuat rumusan masalah yang sesederhana mungkin guna menghindari terjadinya kesimpangsiuran dalam pembahasan. Maka berdasarkan masalah tentang ruqyah yang disebutkan diatas, penulis merumuskannya sebagai berikut :

1. Bagaimana hubungan ruqyah dengan i’tikad ?

2. Apakah ruqyah itu tauqifiyah ?

3. Apakah setiap penyakit bisa disembuhkan dengan menggunakan ruqyah ?

4. Bagaimana hukum mengkhususkan diri menjadi peruqyah ?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan yang hendak penulis capai, antara lain sebagai berikut :

1. Untuk menguraikan hubungan antara ruqyah dengan i’tikad.

2. Untuk menjelaskan bahwa ruqyah adalah tauqifiyah.

3. Untuk menjelaskan bahwa ruqyah dapat digunakan sebagai obat bagi setiap penyakit.

4. Untuk menjelaskan kedudukan hukum bagi orang yang mengkhususkan diri menjadi peruqyah.

D. Metode Penulisan

Dalam metode penulisan ini, penulis menggunakan metode yang sesederhana mungkin sesuai dengan kemampuan yang penulis miliki. Adapun metode penulisan yang penulis gunakan adalah metode normatif, yaitu metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian kepustakaan murni. Penulis menggunakan metode ini karena dalam analisis dan pengambilan kesimpulan menggunakan norma-norma logika tanpa pengujian lapangan. (Rahmat, 1994 10).

E. Sistematika Penulisan

Dalam karya tulis ini telah disusun sedemikian rupa sesuai dengan judul yang penulis pilih. Untuk itu penulis merasa perlu mengemukakan sistematika penulisan karya tulis ini yang penulis jabarkan dalam empat bab. Secara singkat dapat diuraikan sebagai berikut :

Bab I Pendahuluan yang meliputi : Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Metode Penulisan, dan Sistematika Penulisan.

Bab II Pengertian Ruqyah, Akidah, dan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang meliputi : Pengertian Ruqyah, Perintah dan Macam-macam Ruqyah, Ketentuan-ketentuan Ruqyah, Pengertian Akidah, dan Pengertian Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.

Bab III Ruqyah dalam Pandangan Akidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang meliputi : Hubungan Ruqyah dengan I’tikad, Ruqyah adalah Tauqifiyah, Ruqyah sebagai Obat bagi Setiap Penyakit, dan Hukum Mengkhususkan Diri menjadi Peruqyah.

Bab IV Penutup yang meliputi : Kesimpulan dan Saran-saran.


BAB II

PENGERTIAN RUQYAH, AQIDAH, dan AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH

A. Pengertian Ruqyah

Ruqyah secara bahasa mempunyai arti sebagai berikut :

- رُقْيَة : تَعْوِيْذَة , تَمِيْمَة ( على و محظر :987:1996).

- Ruqyah adalah : Azimat, jimat, mantera, guna-guna. ( Ali, Muhdlor,1996:987 ).

- الرُّقْيَةُ ( ج رُقًى وَرُقْيَاتٌ ). ( قامس المنوّر: 525 ).

-Ruqyah adalah : Mantera,guna-guna,jampi-jampi,jimat.(Al-Munawwir, ;525).

- الرُّقْيَةُ : العُوذَةُ التى يرقى بها المريض ونحوه. (ج) رُقًى. ويقال لما يُؤَثِرُ : رُقْيَةٌ.( المعجم الوسيط : 1972 : 367 ).

-Ruqyah adalah azimat (mantera) yang digunakan untuk menyembuhkan orang yang sakit dan sebagainya. (jama’nya ruqyah) adalah ruqan. Dan dikatakan tatkala itu berbekas : ruqyah. (Mu’jam Al Wasit, 1972 : 367).

- رَقَى – رَقْيًا وَرُقِيًّا وَرُقْيَةً هُ وعليه : إستعمل الرُّقية نفعاله أَوْ إِضْرَارًا به. إِسْتَرْقَى هُ : طَلَب منه

أن يصنع له رُقيةً و-له طلب له من يَرْقيه. أَلرُّقْيَة ج رُقًى وَرُقْيَاة وَرُقَيَاة : هي أن يستعان للحصول على امرٍ بقوًى تفوق القوى الطّبيعة فى زعمهم أو وهمهم. الراقى (فا) ج رُقَاة و رَاقُوْنَ م رَاقِيَة ج رَوَاقِ : من يصنع الرّقية ويقال "رَجُلٌ رَقِيَةٌ" كما يقال راوية والتّاء للمبالغة لا للتّأْنيث. الرقَّاء : الماهر فى استعمال الرقية. ( قاموس المنجد,1977 :276 ).

رَقَى- رَقْيًا وَرُقِيًّا وَرُقْيَةً هُ adalah menggunakan ruqyah untuk memberikan manfaat atau madharat dengannya. إِسْتَرْقَى هُ artinya : meminta unrtuk dibuatkan ruqyah (meminta untuk diruqyah). وله (إسترقى له) artinya : memintakan ruqyah bagi orang yang dia meminta ruqyah kepadanya. الرُّقْيَةُ jama’nya adalah رُقًى وَرُقْيَاة وَرُقَيَاة yaitu meminta tolong untuk menghasilkan suatu perkara dengan menggunakan kekuatan yang melebihi kekuatan biasanya menurut anggapan mereka. الرَّاقى (adalah fa’il) yang jama’nya رُقَاة dan رَاقُوْنَ , bentuk mufradnya adalah رَاقِيَةٌ jama’nya رَوَاقِ yakni orang-orang yang membuat ruqyah (tukang ruqyah). Dan jika dikatakan "رَجُلٌ رَاقِيَةٌ" (seorang tukang ruqyah) sebagaimana dikatakan"رواية" dan huruf ta disini menunjukkan lil-mubalaghah bukan lit-ta’nits.الرَّقَّاء Artinya orang yang mahir dalam menggunakan ruqyah. (Kamus Al-Munjid, 1977: 276- pent).

Dari beberapa keterangan diatas dapat kita simpulkan bahwa pengertian ruqyah secara ringkasnya yaitu apa yang disebut pula dengan ‘azimah. Sebagaimana yang disebutkan dibawah ini :

- وَالرُّقَى هِيَ الّتِى تُسَمَّى الْعَزَائِمَ, وَخَصَّ مِنْهُ الدَّلِيْلُ مَا خَلاَ مِنَ الشِّرْكِ, رَخَّصَ فِيْهِ رَسُوْلُ اللهِ

ص مِنَ الْعَيْنِ وَالْحُمْلَةِ. ( فتح المجيد رقم 131 ).

Artinya :“Ruqyah itu adalah apa yang disebut juga dengan ‘azimah, dan Hal ini khusus diizinkan selama penggunaannya bebas dari hal-hal syirik, sebab Rasulullah saw memberikan keringanan dalam hal ruqyah ini untuk mengobati ’ain atau juga dari sengatan kalajengking. (Hamzah, 2003 : 221).

Jadi jelas, dari beberapa keterangan tadi, ruqyah itu diartikan sebagai penangkal, dan penangkal itu sebagai ruqyah yang berasal dari kata ‘perlindungan’ dan ‘berlindung’. Artinya mohon perlindungan dan berpegang dengan sesuatu seolah-olah yang meruqyah itu memohon perlindungan kepada Allah swt dengan yang dibacanya atau memohon perlindungan kepada Allah swt untuk orang-orang yang menjadikan ruqyah itu sebagai penyebab kesembuhannya. Atau bisa juga dikatakan bahwa orang yang diruqyah minta perlindungan kepada Allah Swt melalui orang yang meruqyahnya.

Sebelum agama Islam datang, ruqyah ini sudah dikenal di kalangan masyarakat. Dalil-dalil yang mengindikasikan hal itu antara lain sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Malik dalam kitabnya Al-Muatha’ sebagai berikut :

“Diriwayatkan oleh Umrata bintu Abdurrahman bahwa Abu Bakar As-Shiddiq r.a. masuk menemui Aisyah yang sedang mengeluh karena sakit, sementara itu di sampingnya ada seorang perempuan Yahudi sedang meruqyahnya. Maka Abu Bakar berkata ; “Apakah ia meruqyahnya dengan kitab Allah ?”. (Mubiburrahman, 2004 : 15).

Hadits ini mengindikasikan bahwa Ahlu Kitab pun dahulu mempunyai do’a-do’a atau dzikir-dzikir (mantera) yang mereka gunakan untuk meruqyah. Dan perkataan Abu Bakar As-Shiddiq yang menanyakan “Apakah ia meruqyahnya dengan kitab Allah ?”, maksudnya adalah apakah ia meruqyahnya dengan menggunakan apa yang terdapat di dalam Kitab At-Taurat. Dari sini jelas bahwa orang-orang Yahudi telah merubah hukum-hukum Allah swt dan akidah atau keyakinan yang benar dalam kitab mereka yakni At-Taurat. Namun terhadap ruqyah tidak demikian, mereka tidak mengubahnya dengan tujuan untuk bisa mengambil manfaat darinya. Sebab apabila diubah, maka ruqyah itu tidak akan bisa memberikan manfaat. Begitu juga jika seandainya do’a-do’a dan dzikir-dzikir (mantera) yang ada dalam kitab Taurat tersebut juga diubah oleh mereka, tentu Abu Bakar tidak akan membiarkan perempuan Yahudi meruqyah Aisyah putrinya.

Ruqyah ini tidak hanya dikenal di kalangan Ahli Kitab saja, namun orang-orang Arab terdahulu pun yakni pada masa Jahiliyyah juga telah mengenal dengan apa yang namanya ruqyah. Sebagaimana yang diberitakan oleh Imam Muslim dalam shahih-nya. Diriwayatkan dari Sa’ad bin Jabir dari Ibnu Abbas r.a. bahwa seorang yang bernama Dimad datang ke kota Mekkah, dia berasal dari kabilah Azad Sya’nuah, ia adalah seorang tukang ruqyah di negerinya. Ketika ia mendengar orang-orang Jahiliyyah Makkah mengatakan bahwa Nabi Muhammad saw telah gila, ia berkata dalam hatinya : ‘Seandainya aku melihat orang itu (Muhammad), aku berharap semoga Allah swt menyembuhkannya dengan perantaraan tanganku. Ibnu Abbas berkata lagi. Maka Dimad pun bertemu dengannya (Muhammad) lalu berkata : ‘Hai Muhammad, sesungguhnya aku bisa meruqyah dengan tiupan ini dan sungguh Allah swt menyembuhkan siapa saja yang Ia kehendaki dan melalui tangan siapa saja yang Ia kehendaki, apakah engkau bersedia ?. Rasulullah saw menjawabnya :

إِنَّ الْحَمْدَ للهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ, مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.

‘Sesungguhnya segala puji bagi Allah, kita memuji, memohon pertolongan dan ampunan-Nya. Barang siapa yang ditunjuki-Nya, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya dan barang siapa yang disesatkan-Nya maka tidak ada yang menunjukinya. Saya bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang patut disembah kecuali Allah Yang Maha Esa tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Kemudian Dimad berkata : ‘Ulangi lagi ucapanmu itu’. Maka Rasulullah pun mengulangi ucapannya tersebut sampai tiga kali. Kemudian setelah itu Dimad berkata lagi : ‘Aku sering mendengar perkataan-perkataan tukang ramal, perkataan-perkataan tukang sihir, dan perkataan-perkataan penyair, namun sungguh aku tidak pernah mendengar seperti apa yang engkau ucapkan tadi. Sungguh ucapan-ucapanmu itu mencapai kedalam lautan. ‘Perawi lalu berkata : Rasulullah saw bersabda : ‘Berikan tanganmu, aku akan membai’atmu atas nama Islam. Maka Rasulullah saw membai’atnya, lalu Rasulullah saw bersabda : ‘Dan terhadap kaummu’. Dimad menjawab : ‘Dan terhadap kaumku’. Perawi berkata : ‘Suatu hari Rasulullah saw mengirim serombongan kaum Muslimin. Tatkala rombongan itu melewati kaumnya Dimad, pemimpin rombongan berkata : ‘Apakah ada diantara kalian yang terkena sesuatu dari kaum itu ?’. Salah seorang diantara mereka menjawab : ‘Ya, aku terkena sesuatu (berbentuk sebuah bejana). Pemimpin rombongan lalu berkata : ‘Kembalikan, mereka itu adalah kaumnya Dimad. Dimad ini adalah seorang tukang ruqyah, ia meruqyah dari tiupan ini pada zaman Jahiliyyah dahulu sebelum dia masuk Islam. (Muhiburrahman, 2004 : 19).

Dalil lain yang menunjukkan bahwa ruqyah ada sebelum Islam adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya lengkap dengan sanadnya sebagai berikut :

عَنْ أَبِى سُفْيَانَ عَنْ جَابِرٍ قَالَ نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الرُّقَى, فَجَاءَ الُ عَمْرُوبْنِ حَزْمٍ إِلىَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوْا يَارَسُوْلَ اللهِ : إِنَّهُ كَانَتْ عِنْدَنَا رُقْيَةٌ نَرْقِي بِهَا مِنَ الْعَقْرَبِ, وَإِنَّكَ نَهَيْتَ عَنِ الرُّقَى فَعَرَضُوْهَا عَلَيْهِ. فَقَالَ : مَا أَرَى بَأْسًا. مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يَنْفَعَ أَخَاهُ فَلْيَفْعَلْ.

Dari Abu Sofyan bahwa Jabir berkata, Rasulullah saw telah melarang ruqyah, maka datanglah keluarga Umar bin Hizam menemui Rasulullah saw. Mereka berkata : ‘Wahai Rasulullah, kami mempunyai mantera-mantera yang biasa kami gunakan untuk meruqyah orang yang terkena sengatan kalajengking, namun engkau telah melarang ruqyah’. Perawi berkata : ‘ mereka pun lalu memperlihatkan ruqyah tersebut kepada Rasulullah saw. Setelah melihatnya, beliau bersabda : ‘Aku rasa tidak apa-apa (dalam ruqyah ini). Barang siapa diantara kalian yang dapat menolong saudaranya, maka lakukanlah. (Muhiburrahman, 2004;21).

Di dalam Shahih Muslim juga disebutkan :

عَنِ ابْنِ جُبَيْرٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ عَوْفٍ بْنِ مَالِكٍ الأَشْجَعِيُّ, قَالَ : كُنَّا نَرْقِى فِى الْجَاهِلِيَّةِ فَقُلْنَا : يَا

رَسُوْلَ اللّهِ, كَيْفَ تَرَى فِى ذَالِكَ ؟ فَقَالَ : اعْرِضُوْا عَلَىَّ رُقَاكُمْ لاَ بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ يَكُنْ فِيْهِ

شِرْكُ.

“Diriwayatkan dari Ibnu Jubair bahwa bapaknya berkata : ‘Auf bin Malik Al-Asyja’I berkata : ‘Pada waktu zaman jahiliyyah kami sering meruqyah’, maka kami berkata : ‘Wahai Rasulullah, bagaimana menurut Anda ?’. Beliau bersabda : ‘Perlihatkanlah kepada kami ruqyah kalian, tidak mengapa dengan ruqyah selama tidak terdapat kesyirikan di dalamnya”. (Muhiburrahman, 2004; 22).

Hadits ini menunjukkan bahwa ruqyahnya keluarga Imran bin Hazm dan ruqyahnya Malik Al-Asyja’I tidak pernah dilihat sebelumnya oleh Rasulullah saw. Namun mereka sudah mengenalnya terlebih dahulu sebelum beliau, bahkan mereka pernah mencobanya. Ketika mereka memperlihatkannya kepada Rasulullah saw, dan beliau tidak melihat sesuatu apapun (kesyirikan) di dalamnya, beliau memberikan keringanan (mengizinkan) kepada mereka untuk memakainya sebagai ruqyah. Demikianlah dalil-dalil mengenai ketenaran ruqyah sebelum datangnya Islam.

B. Perintah dan Macam-macam Ruqyah

Al-Qur’an merupakan penyembuh yang ampuh dari segala penyakit, baik itu penyakit hati maupun penyakit tubuh, baik itu penyakit yang akibatnya bisa dirasakan di dunia maupun yang akibatnya baru bisa dirasakan kelak di akhirat.

Tidak ada seorang pun yang tidak menerima dan tidak setuju adanya penyembuhan dengan Al-Qur’an. Jika orang yang sakit secara sungguh-sungguh mengupayakan kesembuhannya dengan Al-Qur’an yakni dengan penuh keikhlasan, keimanan, dan keyakinan yang kuat, serta tercukupi syarat-syaratnya, niscaya dia akan sembuh dari penyakit yang tengah di deritanya. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah pernah mengatakan : “Bagaimana mungkin suatu penyakit dapat mengalahkan firman Allah Swt, Sang Penguasa langit dan bumi, padahal seandainya firman Allah Swt tersebut diturunkan kepada gunung, niscaya gunung itu akan luluh lantak. Dan jika diturunkan kepada bumi, niscaya bumi itu akan terbelah”. (Khair, 2004 : 93).

Orang yang faham tentang firman Allah Swt meyakini bahwa segala jenis penyakit, baik itu penyakit hati maupun penyakit tubuh ada petunjuk pencegahan serta pengobatannya dalam Al-Qur’an. Hal ini karena Allah Swt telah menyebutkan di dalam Al-Qur’an berbagai jenis penyakit hati dan penyakit tubuh, serta cara-cara pencegahan dan penyembuhannya.

Adapun ayat yang erat sekali kaitannya dengan ruqyah ini sendiri telah termaktub dalam Al-Qur’an surat Al-Israa’ ayat 82 yang berbunyi :

وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ وَلَا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلَّا خَسَارًا.

Artinya : “Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al-Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang dzalim selain kerugian”. (Majma Al Malik, 1418 H : 437).

Begitu juga dalam surat Fushshilat ayat 44 yang berbunyi :

... قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ آمَنُوا هُدًى وَشِفَاءٌ ..

Artinya : “Katakanlah, Al-Qur’an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman”. (Majma Al Malik, 1418 H : 779).

Banyak hadits yang menunjukkan bahwa ruqyah itu boleh dilakukan. Rasulullah saw sendiri meruqyah (membentengi) dirinya sebagaimana yang disebutkan dalam Shahih Bukhari yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a., ia berkata :

كَانَ رَسُوْلُ اللَّهِ ص إِذَا أَوَىْ إِلَى فِرَاشِهِ نَفَثَ فِىْ كَفَّيْهِ بِ ( قل هو الله أحد ) وَبِالْمُعَوِّذَتَيْنِ جَمِيْعًا, ثُمَّ يَمْسَحُ بِهِمَا وَجْهَهُ, وَمَا بَلَغَتْ يَدَاهُ مِنْ جَسَدِهِ. ( رواه البخارى )

“Apabila Rasulullah saw hendak beranjak ke tempat tidurnya, beliau meniup kedua telapak tangannya dengan membaca, ‘Qulhuwallahu Ahad’ dan ‘Mu’awidzatain’, lalu dengan kedua telapak tangannya itu beliau mengusap wajah dan bagian tubuh beliau (yang dapat dijangkau) dengan tangannya”. (Muhiburrahman, 2004 : 65).

Selain itu juga beliau memerintahkan shahabat-shahabatnya untuk melakukan ruqyah ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahinya sebagai berikut :

عَنْ اُمِّ سَلَمَةَ رضي الله عنها أَنَّ النَّبِىَّ ص رَأَى فِى بَيْتِهَا جَارِيَةً فِى وَجْهِهَا شَفْعَةٌ. فَقَالَ :

( اسْتَرْقُوْلَهَا فَإِنَّ بِهَا النَّظْرَةَ ). ( رواه البخارى : 5739 )

“Diriwayatkan dari Ummu Salamah r.a. bahwa di rumahnya Nabi saw melihat seorang gadis dengan noda / flek hitam di wajahnya, kemudian Rasulullah saw bersabda : ‘Lakukanlah ruqyah untuknya, karena ia terkena pengaruh mata yang jahat”. (Az-Zabidi, 1998 : 967).

عَنْ عَائِشَةَ رضى الله عنها قَالَتْ كَانَ النَّبِىُّ ص يُعَوِّذُ بَعْضُهُمْ يَمْسَحُهُ بِيَمِيْنِهِ أّذْهَبِ الْبَاسِ رَبَّ النَّاسِ وَاشْفِ أَنْتَ الشَّافِى لاَ شِفَاءَ إِلاَّ شِفَاؤُكَ شِفَاءُ لاَ يُغَادِرُ سَقَمًا. (رواه البخارى).

Dari Aisyah r.a. ia telah berkata : ‘Dahulu Rasulullah saw memohonkan perlindungan kepada Allah Swt untuk shahabatnya. Beliau mengusapnya dengan tangan kanannya sambil membaca ; ‘Hilangkanlah kesusahan wahai Rabb manusia dan sembuhkanlah, Engkau Dzat Yang Maha Menyembuhkan , tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan dari-Mu, kesembuhan yang tidak meninggalkan sakit. (Muhiburrahman, 2004 : 66).

عَنْ عَلِىٍّ بْنِ أَبِيْ طَالِبٍ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُِ اللهِ ص خيْرُ الدَّوَاءِ الْقُرْانُ. (رواه ابن ماجه).

Artinya : “Dari Ali Ibn Abi Thalib, ia berkata Rasulullah saw telah bersabda : ‘Sebaik-baik pengobatan adalah (dengan) Al-Qur’an ». (Al-Munawar, Umar ; 1994 : 39).

Di antaranya juga Rasulullah saw mengakui apa yang dilakukan oleh shahabat-shahabatnya ketika mereka meruqyah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, sebagai berikut :

Dari Abu Sa’id bahwasanya sekelompok shahabat Rasulullah saw pergi menempuh suatu perjalanan hingga sampai di suatu kampung. Maka mereka memohon untuk dijamu, namun ahli kampung itu tidak mau menjamu. Tak lama kepala kampung digigit (kalajengking), maka mereka (ahli kampung) berupaya mengobatinya namun tak berhasil. Di antara mereka ada yang berkata, ‘Tidakkah sebaiknya bila kamu temui orang-orang yang lewat tadi ?. Boleh jadi di antara mereka ada yang memiliki sesuatu (mengobati dengan do’a) ? ». maka beberapa orang mendatangi (para shahabat) dan berkata ; « Hai rombongan !, pimpinan kami tergigit, kami telah berupaya mencari obatnya namun belum berhasil, apakah di antara kalian ada yang memiliki sesuatu ? ». Maka di antara shahabat menjawab ; «’Ya, sesungguhnya saya suka meruqyah (berdo’a untuk obat). Tapi, kami telah meminta jamuan padamu, tidak kami dapatkan. Kami pun tidak meruqyah kalian hingga kita mengadakan kesepakatan’. Maka mereka sepakat akan memberikan sepotong kambing. Lalu dia mulai meludahi (sedikit pada anggota yang digigit) dan membaca alhamdulillah (surat Al-Fatihah), hingga seolah-olah dia (orang sakit) itu lepas dari ikatan lalu bengkit berjalan seraya berkata ;’Tepatilah (penuhilah)kesepakatan dengan mereka’. (selain diserahkan) maka di antara mereka (shahabat) berkata ; ‘Bagi-bagi kami’, shahabat yang meruqyah tadi berkata ; ‘Jangan terburu-buru hingga kita datang menghadap Rasulullah saw, dan kita sampaikan apa yang terjadi. Setelah itu baru kita laksanakan apa yang akan beliau tetapkan atas kita’. Maka mereka pun datang menghadap Rasulullah saw dan menyampaikan (kisah) kepadanya. Beliau bersabda : ‘Siapa yang memberi tahu kepadamu bahwa surat tersebut adalah ruqyah yang tepat ?. Bagikanlah (daging kaming itu) dan berilah aku bagian !’, maka Rasulullah saw pun tertawa. (Mubarak, 2004 : 85).

Jadi dengan demikian, perintah untuk meruqyah sudah diakui dengan kesepakatan para ulama yang didasarkan pada hadits-hadits shahih yang banyak sekali jumlahnya sebagaimana yang telah disebutkan terdahulu.

Untuk itulah ruqyah terbagi menjadi dua bagian, yaitu :

Pertama : Ruqyah untuk mencegah petaka sebelum terjadi, di antara dalil-dalilnya

antara lain :

1. Hadits riwayat Aisyah r.a., ia berkata :

كَانَ إذَا اشْتَكَى رَسُوْلُ اللهِ ص رَقَاهُ جِبْرِيْلُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ قَالَ بِسْمِ اللهِ يُبْرِيْكَ وَمِنْ كُلِّ دَاءٍ

يَشْفِيْكَ وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ وَِشَرِّ كُلِّ ذِى عَيْنٍ.

“Dulu Rasulullah saw jika beliau sakit, maka Malaikat Jibril pun meruqyahnya. Dia berkata : ‘Dengan nama Allah yang melindungi dan menyembuhkan dari setiap penyakit, dari setiap kejelakan orang-orang yang dengki apabila ia dengki dan dari setiap mata orang-orang jahat’. (Muhiburrahman, 2004 ; 69).

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ص إِذَا مَرِضَ أَحَدٌ مِنْ أَهْلِهِ نَفَثَ عَلِيْهِ بِالْمُعَوِّذَتَيْنِ فَلَمَّا مَرِضَ مَرَضُهُ الّذِى

مَاتَ فِيْهِ جَعَلْتُ أَنْفُثُ عَلِيْهِ وَأَمْسَحُهُ بِيَدِ نَفْسِهِ لأَنَّهَا كَانَتْ أَعْظَمُ بَرَكَةً مِنْ يَدِى.

Dahulu Rasulullah saw apabila salah seorang dari anggota keluarganya (isterinya) sakit, beliau meniuonya dengan bacaan ‘Mu’awidzatain’. Dan ketika beliau sakit, yaitu sakit yang menyebabkan beliau wafat, saya meniupnya dengan bacaan mu’awidzatain dan saya usapkan ke badannya dengan tangan beliau karena tangan beliau lebih besar barakahnya dari pada tanganku. (Muhiburrahman, 2004 ; 70).

2. Diriwayatkan juga dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Malaikat Jibril mendatangi Rasulullah saw lalu berkata :

يَا مُحَمَّدٌ اَشْتَكَيْتَ ؟ قَالَ : نَعَمْ. فَقَالَ جِبْرِيْلُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ بِاسْمِ اللهِ اَرْقِيْكَ مِنْ كُلِّ دَاءٍ

يُؤْذِيْكَ وَمِنْ شَرِّ كُلِّ نَفْسٍ اَوْ عَيْنٍ حَاسِدٍ اَللهُ يَشْفِيْكَ بِاسْمِ اللهِ اَرْقِيْكَ. مسلم

“Ya Muhammad !, sakitkah engkau ?”. Nabi berkata : ‘Ya’. Malaikat Jibril a.s. berkata ; ‘Dengan nama Allah, aku mohon ruqiyyah untukmu dari setiap penyakit yang menimpamu dan juga dari setiap jiwa maupun mata orang yang dengki. Allah akan menyembuhkan engkau. Dengan nama Allah, aku akan melakukan ruqiyyah untukmu”. (Al-Munawar, Umar, 1994 : 41).

3. Diriwayatkan juga dalam hadits lain :

عَنْ عُثْمَانَ بْنِ أَبِى العَاص الثَّقَفِى رضى الله عنه أَنَّهُ شَكَا إِلىَ رَسُوْلِ اللهِ ص ضَعْ يَدَكَ عَلىَ

الّذِى تَأَلَّمَ مِنْ جَسَدِكَ وَقُلْ بِسْمِ اللهِ ثَلاَثًا وَقُلْ سَبْعَ مَرَّاتٍ أَعُوْذُ بِاللهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا

أَجِدُ وَأُحَاذِرْ.

“Dari Utsman bin Abi Al-Ash Ats-Tsaqafi r.a. Suatu hari ia mengadu kepada Rasulullah saw, maka beliau berkata kepadanya : ‘Letakkan tanganmu di atas bagian tubuhmu yang sakit kemudian ucapkan basmalah sebanyak tiga kali dan ‘Aku berlindung kepada Allah dan kepada kekuasaan-Nya dari kejelekan yang menimpaku dan yang aku takuti”. (Muhiburrahman, 2004 : 71).

Kedua : Ruqyah untuk mengangkat petaka setelah terjadi, di antara dalil-dalilnya

adalah :

1. Hadits riwayat Imam Bukhari dalam Shahihnya :

عَنِ ابْنِ عَبَّاسِ رضى الله عنهما قَالَ : كَانَ النَّبِىُّ ص يُعَوِّذُ الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ وَيِقُوْلُ إِنَّ

أَبَاكُمَا كَانَ بُعَوِّذُ بِهَا إِسْمَاعِيْلَ وَإِسْحَاقَ أَعُوْذُ بِكَلِمَةِ اللهِ التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانِ وَهَامَّةٍ

وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لاَمَّةٍ.( رواه البخارى )

Dari Ibnu Abbas r.a., ia berkata : ‘Dahulu Rasulullah saw memohonka perlindungan kepada Allah Swt untuk Hasan dan Husain cucu beliau, beliau bersabda : ‘Sungguh bapakmu dahulu (Ibrahim) memintakan perlindungan kepada Allah Swt untuk Ismail dan Ishaq anaknya dengan membaca : ‘Aku berlindung kepada Allah dari semua jenis gangguan syetan dan sengatan binatang berbisa dan dari setiap kejelekan pandangan mata yang jahat. (Muhiburrahman, 2004 :71).

عَنْ عَائِشَةَ رض أَنَّ النَّبِيَّ ص كَانَ إذَا اوَى إِلىَ فِرَاشِهِ كُلَّ لَيْلَةٍ جَمَعَ كَفَّيْهِ ثُمَّ نَفَثَ فِيْهَا وَقَرَأَ

فِيْهِمَا قُلْ هُوَ اللهُ اَحَدُ وَقُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ وَقُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ ثُمَّ يَمْسَهُ بِهِمَا مَا اسْتَطَاعَ

مِنْ جَسَدِهِ يَبْدَأُ بِهِمَا عَلىَ رَأْسِهِ وَوَجْهِهِ وَمَا أَقْبَلَ مِنْ جَسَدِهِ يَفْعَلُ ذَالِكَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ.

( رواه البخارى )

Dari Aisyah r.a., bahwa Nabi saw apabila hendak tidur pada setiap malam, ia menghimpun kedua tapak tangannya, lalu meniup pada keduanya sambil membaca QULHU ALLAHU AHAD, dan QUL ‘AUUDZU BIRABBIL FALAQ dan QUL ‘AUUDZU BIRABBIN NAAS, kemudian ia mengusapkan kedua tapak tangannya itu pada badannya yang dapat dicapai, dimulai dari kepala dan wajahnya, dan bagian badannya yang depan, yang dilakukannya seperti itu tiga kali. (Manan, 1982 : 76).

2. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, sebagai berikut :

عَنْ عُثْمَانَ ابْنِ عَفَّانٍ وَهُوَ يَقُوْلُ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص مَنْ قَالَ فِى أَوَّلِ يَوْمِهِ أَوْ فِى اَوَّلِ لَيْلَتِهِ

بِسْمِ اللهِ الّذِىْ لاَ يَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ شَيْءٌ فِى الأَرْضِ وَ لاَ فِى السَّمَاءِ, وَهُوَ السّمِيْعُ الْعَلِيْمُ,

ثَلاَثَ مَرَّاتٍ, لَمْ يَضُرُّهُ شَيْءٌ فِى ذَالِكَ الْيَوْمِ أَوْ فِى تِلْكَ اللّيْلَةِ. ( رواه أحمد ).

“Dari Utsman bin Affan r.a. bahwa Rasulullah saw telah bersabda : ‘Barang siapa yang mengucapkan kalimat ‘Dengan nama Allah, tidak ada yang membahayakan bersama nama-Nya sesuatu pun yang ada di bumi dan di langit, Dia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui, maka ia tidak akan diganggu oeh sesuatu pun pada hari itu atau pada malam itu”. (Muhiburrahman, 2004 : 73).

3. Hadits riwayat Imam Muslim dalam kitab Shahihnya, bahwa Nabi saw telah bersabda :

إِذَا نَزَلَ أَحَدُكُمْ مَنْزِلاً فَلْيَقُلْ أَعُوْذُ بِكَلِمَةِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ فَإِنَّهُ لاَ يَضُرُّهُ

شَيْءٌ حَتَّى يَرْتَحِلَ مِنْهُ. (رواه مسلم).

“Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah Yang Maha Sempurna dari kejelekan yang telah diciptakan”. (Muhiburrahman, 2004 : 72 ).

C. Ketentuan-ketentuan Ruqyah

Sesungguhnya Rasulullah saw telah menjelaskan kepada kita tentang ketentuan-ketentuan ruqyah yang benar. Di antara ketentuan-ketentuan ruqyah itu antara lain : Yang pertama : ruqyah yang dipergunakan tidak termasuk dalam kategori ruqyah syirikiyah atau ruqyah yang terdapat unsur kesyirikan di dalamnya. Dalilnya sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya sebagai berikut :

“Hadits ‘Auf bin Malik dalam shahih Muslim, beliau berkata : ‘Di masa Jahiliyyah kami biasa melakukan ruqyah, lalu berkata kepada Rasulullah saw : Bagaimana menurutmu ya Rasulullah ?’. Maka beliau berkata : ‘Lakukanlah ruqyah yang biasa kalian lakukan selama tidak mengandung syirik’. (Matta,T.T : 188).

Dalam redaksi hadits di atas mengandung pengertian bahwa setiap ruqyah yang mengandung unsur kesyirikan, maka ruqyah itu termasuk ruqyah syirikiyah dan tidak boleh bagi seorang Muslim yang beriman kepada Allah dan kepada hari akhir untuk menggunakannya. Adapun jenis-jenis ruqyah yang mengandung unsur syirik di dalamnya, antara lain :

1. Setiap ruqyah yang di dalamnya mengandung sumpah-sumpah dengan menggunakan makhluk-makhluk ciptaan Allah Swt seperti, bersumpah atas nama matahari, bulan, bintang, malaikat, jin dan sebagainya.

2. Setiap ruqyah yang mengandung pengaduan kepada makhluk ciptaan Allah Swt. Padahal dengan jelas Rasulullah saw telah bersabda dalam salah satu haditsnya : “Barang siapa yang bersumpah dengan selain Allah, maka sesungguhnya ia telah kafir atau musyrik”. (Muhiburrahman, 2004 : 94).

3. Setiap ruqyah yang mengandung do’a dan permohonan kepada makhluk-Nya untuk mengungkap sesuatu yang sebetulnya tidak ada orang yang bisa mengungkapnya kecuali Allah Swt semata. Padahal mengenai hal ini Allah Swt telah berfirman dalam Q.S. Fathir ayat 13-14 yang berbunyi :

Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kilut ari. Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu ; dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan di hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada yang dapat memberikan keterangan kepadamu sebagai yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui . (Majma Al Malik, 1418 H : 698).

Dan Allah Swt juga berfirman dalam Q.S. Yunus ayat 106-107 :

Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah ; sebab jika kamu berbuat (yang demikian) itu, maka sesungguhnya kamu akan termasuk orang-orang yang zalim. Jika Allah menimpakan suatu kemudharatan kepadamu maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak kurnia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang . (Majma Al Malik, 1418 H : 323).

Jadi dengan demikian setiap ruqyah yang di dalamnya mengandung penyimpangan terhadap sesuatu yang telah diperintahkan oleh Allah Swt beserta Rasul-Nya, maka ruqyah itu termasuk ruqyah syirikiyyah.

Yang Kedua, yakni setiap ruqyah yang dipergunakan tersebut bukan merupakan ruqyah sihriyah. (ruqyah yang mengandung unsur sihir di dalamnya). Hal ini dilarang karena Allah Swt telah melarang perbuatan sihir, bahkan Allah Swt mengkategorikan orang yang melakukan sihir termasuk dalam golongan orang-orang yang kafir, sebagaimana yang telah di jelaskan dalam firman-Nya yakni Q.S. Al-Baqarah ayat 102 yang berbunyi :

Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaithan-syaithan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaithan-syaithn itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedng keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan ; « Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir ». maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorang pun kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barang siapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual diriya dengan sihir, kalau mereka mengetahui. (Majma Al Malik, 1418 H : 28).

Disamping itu juga, Rasulullah saw pernah bersabda :

إِجْتَنِبُوْا الْمُوْبِيْقَاتِ الشِّرْكُ بِاللهِ وَالسِّحْرُ. ( رواه البخارى )

“Jauhilah suatu hal yang membawa kepada kehancuran yaitu syirik (menyekutukan Allah) dan sihir”. (Muhiburrahman, 2004 : 97).

Jadi, dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa ruqyah sihriyah atau dengan kata lain ruqyah yang di dalamnya mengandung unsur sihir, hukumnya adalah haram dan tidak boleh bagi seorang muslim untuk mendatangi tukang sihir dengan maksud untuk meminta ruqyah kepadanya.

Menurut kesepakatan para ulama, ruqyah di syari’atkan apabila sudah terpenuhi syarat-syaratnya. Adapun beberapa syarat yang harus terpenuhi dalam ruqyah yang diperbolehkan antara lain :

1. Hendaklah ruqyah dilakukan dengan kalam Allah atau nama-Nya atau sifat-Nya atau dengan do’a-do’a yang diriwayatkan dari Rasulullah saw pada penyakit tersebut.

2. Ruqyah harus dengan bahasa arab atau dengan bahasa lain yang dapat difahami maknanya.

3. Tidak boleh ada sesuatu yang haram dalam kandungan ruqyah itu, misalnya ; memohon pertolongan kepada selain Allah, berdo’a kepada selain Allah, menggunakan nama jin atau raja-raja jin dan sebagainya.

4. Tidak bergantung kepada ruqyah dan menganggapnya sebagai penyembuh.

5. Kita harus yakin bahwa ruqyah itu tidak berpengaruh dengan kekuatannya sendiri, tetapi hanya dengan izin Allah Swt. (Matta, T.T : 188).

Jika salah satu syarat tersebut tidak terpenuhi, maka ruqyah itu menjadi haram. Jika seseorang meyakini bahwa ruqyah itu sebagai subyek atau faktor yang berpengaruh mutlak, maka ia menjadi musyrik dengan tingkat kemusyrikan yang besar. Dan jika ia percaya bahwa ruqyah tersebut hanya merupakan factor yang menyertai kesembuhan, maka ia menjadi musyrik dengan tingkat kemusyrikan yang kecil.

Atas dasar itu, maka ruqyah dibagi menjadi dua bagian. Pertama, Ruqyah Syar’iyyah ; yaitu ruqyah yang telah memenuhi syarat-syarat tersebut. Kedua, Ruqyah bid’ah ; yaitu ruqyah yang kehilangan salah satu syarat tersebut, yakni :

1. Tidak menggunakan bahasa arab.

2. Maknanya tidak jelas dan tidak dapat difahami.

3. Mengandung unsur syirik, menggunakan nama jin atau raja jin, atau kata tak bermakna berupa huruf-huruf yang terpotong-potong dan semacamnya.

4. Jika ia percaya bahwa ruqyah itu mempengaruhi dengan kekuatannya sendiri, sekalipun ia telah memenuhi syarat-syarat tersebut. (Matta,T.T : 189).

D. Pengertian Aqidah

Dalam ilmu Aqidah Islam, kata Aqidah mempunyai beberapa tahap makna, yakni :

Tahap Pertama, makna yang terlalu umum tanpa batasan khusus. Yaitu tahap makna bahasa dimana ia digunakan untuk beberapa makna :

1. Tekad yang bulat (Al-‘Azm Al-Muakkad).

2. Mengumpulkan (Al-Jam’u).

3. Niat (An-Niyyah).

4. Menguatkan perjanjian (At-Tautsiq Lil ‘Uqud).

5. sesuatu yang diyakini dan dianut oleh manusia, baik itu benar atau bathil (Maa Yadiinu Bihi Al-Insan Sawa’un Kaana Haqqan Au Bathilan). (Matta, T.T : 3).

Tahap Kedua, perbuatan hati. Di sinilah aqidah mulai diartikan sebagai perbuatan hati sang hamba. Makna ini lebih sempit dari tahap sebelumnya. Dari sinilah kemudian aqidah di definisikan sebagai keimanan yang tidak mengandung kontra, maksudnya tidak ada sesuatu di dalam hati seorang hamba yang dapat merusak kesucian aqidah selain keimanan, keyakinan dan kepercayaan terhadap Rabb-Nya. Maka inilah yang secara aplikatif berlaku pada tiga zaman paling utama ; shahabat, tabi’in dan tabi’uttabi’in. Allah Swt berfirman dalam Q.S. Al-Ahzab ayat 33 yang berbunyi :

مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَى نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلًا.

Artinya : “Di antara orang-orang mu’min itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah ; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak sedikitpun merobah (janjinya)”.(Majma Al Malik, 1418 H :670).

Tahap Ketiga, di sini aqidah telah memasuki masa kematangan di mana ia telah terstruktur sebagai disiplin ilmu dengan ruang lingkup permasalahan tersendiri dan inilah tahap dimana aqidah di definisikan sebagai :

« Al-Ilmu Bil Ahkaam Asy-Syar’iyyah Al-Aqaiyyah al-Muktasab Min Al-Adillah Al-Yaqiniyyah Waa Raddu Asy-Syubuhat Waa Qawaadihal Adillah Al-Khilafiyyah ».

Artinya : « Ilmu tentang hukum-hukum syari’at dalam bidang aqidah yang diambil dari dalil-dalil yaqiniyah (mutlak) dan menolak syubhat dan dalil-dalil khilafiyah yang cacat ». (Matta, T.T : 3).

Kata ‘ilmu’ berarti : pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana ia adanya. Itu hanya bisa dilakukan dengan mempersepsi satuan-satuannya dan membenarkan muatan-muatannya sebagaimana ia adanya sebagai hakikat yang diketahui melalui dali-dalil syari’at yang bersifat yaqiniyyah (mutlak).

Kata ‘Ahkam’ berarti : kaidah dan prinsip aqidah yang diambil dari dalil-dalil syari’at yang bersifat yaqiniyyah (mutlak). Hal yang sama juga berlaku pada kata Aqidah untuk mengeluarkan semua permasalahan di luar ruang lingkup aqidah.

Kata ‘Adillah’ adalah bentuk jamak dari kata tunggal ‘Dalil’, artinya dalam bahasa : penunjuk jalan, sedang secara terminologis ; sesuatu yang jika dianalisa secara benar akan mengantarkan kepada suatu pengetahuan informatif.

Kata ‘Adillah’ (dalil-dalil) sengaja disertakan dengan kata ‘yaqiniyyah’ (mutlak), karena ruang lingkup permasalahan Aqidah bersifat mutlak yang tidak mungkin diketahui kecuali dengan dali-dalil yang bersifat yaqiniyyah (mutlak) pula.

Yang dimaksud dengan menolak syubhat adalah menolak syubhat dengan dalil-dalil yang bersifat fisik, akal, dan wahyu serta fitrah. Kata ‘Syubuhat’ itu sendiri adalah bentuk jamak dari kata tunggal ‘syubhat’ yang diambil dari akar kata ‘Syabh’ (kesamaan) untuk menunjukkan dua hal yang sama yang tidak dapat dibedakan, sehingga orang akan menduga bahwa yang satu adalah yang lain, padahal itu tidak benar.

Sedangkan yang dimaksud dengan kata ‘Qawaadih’ (pencacat atau perusak) adalah sesuatu yang merusak dalil baik yang bersifat fisik, akal atau wahyu. (Matta, T.T : 4).

E. Pengertian Ahlus Sunnah Wal Jama’ah

1. Definisi Sunnah

Kata As-Sunnah yang mempunyai bentuk jamak / plural sunnah secara bahasa berarti cara (Thariqah), sejarah / sirah (perjalanan hidup). Ibnu Mandhur berkata, ”Sunnah makna awalnya adalah thariq yaitu jalan yang ditempuh oleh para pendahulu yang akhirnya ditempuh oleh orang lain sesudahnya”. Sebagaimana di katakan :

لتتبعنّ سنن من كان قبلكم.

“Kamu pasti akan mengikuti As-Sunnah umat sebelum kamu”. (Matta, T.T : 8 ). Maksudnya, cara beragama mereka. Sabda Rasulullah saw yang lain :

من سنّ سنة حسنة

“Barang siapa yang membuat As-Sunnah yang baik”. Maksudnya adalah jalan hidup yang baik”. (Matta, T.T : 8).

Dalam terminologi syari’at Islam, As-Sunnah mempunyai sejumlah definisi yang berbeda. Setiap disiplin ilmu ke-Islaman mendefinisikan As-Sunnah sesuai dengan karakternya masing-masing. Berikut ini beberapa definisi sunnah menurut masing-masing disiplin ilmu tersebut, antara lain :

a. As-Sunnah menurut Ulama Hadits adalah : “Apa yang datang dari Rasulullah baik perkataan, perbuatan, takrir / penetapan / pendiaman maupun apa yang ingin beliau kerjakan”. Dengan artian ini, As-Sunnah menjadi sinonim kata hadits, sumber hukum kedua dalam Islam. (Hanan, T.T : 211).

b. As-Sunnah menurut Ulama Ushul Fiqh adalah : “Setiap yang datang dari Nabi (perintah) baik perkataan, perbuatan, maupun takrir beliau selama bukan Al-Qur’an dan bisa menjadi dalil bagi sebuah hukum syar’I”. (Hanan, T.T : 211).

c. As-Sunnah menurut Ulama Fiqh adalah : “Suatu perbuatan yang bila dilaksanakan maka pelakunya akan mendapat pahala, dan bila ditinggalkan tidak mendapatkan dosa”. (Matta, T.T : 7).

d. Sedangkan Ulama Aqidah Islam mendefinisikan As-Sunnah sebagai : “Salah satu sumber penerimaan Aqidah Islam yang benar dan salah satu metode dasar menetapkan muatan-muatannya”. (Matta, T.T: ). Oleh sebab itu, sebagian kaum salaf mengartikan As-Sunnah dengan Ittiba’ (meneladani Rasulullah Saw), sementara yang lain mengartikannya dengan Islam. Kedua pengertian ini tentu saja tidak saling bertentangan. Sebab Islam adalah ungkapan dari aqidah yang benar, sedang ittiba’ adalah ungkapan dari metode penerimaan ajaran aqidah yang benar.

Dengan demikian, maka arti As-Sunnah adalah mengikuti aqidah yang benar yang telah ditetapkan berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah atau juga merupakan ungkapan kesetiaan mengikuti manhaj Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam segala dimensinya, baik yang prinsipil maupun yang tidak prinsipil (furu’). (Matta, T.T : 8).

2. Definisi Jama’ah

Kata jama’ah secara bahasa berarti kelompok, bersatu, lawan dari kata berpecah belah. (Hanan,T.T : 214). Dalam hadits banyak sekali disebutkan perintah untuk berjama’ah dan larangan untuk berpecah belah. Di antara hadits-hadits itu antara lain :

“ Siapa ingin tengah-tengahnya syurga hendaknya ia selalu berjama’ah karena syetan itu bersama orang yang sendirian dan menjauh dari dua orang”. (Hanan, T.T : 214).

“Barang siapa melihat dari amirnya hal yang tidak ia senangi, hendaknya ia bersabar karena siapa saja yang keluar dari jama’ah lalu mati, maka ia mati dalam keadaan Jahiliyyah”. (Hanan, T.T:215).

Dalam hadits-hadits yang menerangkan perpecahan umat Islam menjadi tujuh puluh tiga golongan disebutkan bahwa golongan yang selamat hanya satu yaitu jama’ah, dalam riwayat lain Maa ana ‘alaihi wa ash-habi (apa yang saya dan para sahabatku berada di atasnya = jalan para sahabat). Ini merupakan pendapat khalifah Umar bin Abdul Aziz. Dengan artian ini setiap orang yang beramal berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai pemahaman generasi sahabat bisa disebut Ahlu Sunnah Wal Jama’ah.

Makna Jama’ah yang lain adalah pemerintahan negara Islam / Khilafah Islamiyah dengan seorang Imam / khalifah. Siapa taat pada imam berarti mengikuti jama’ah dan siapa yang membangkang / memberontak berarti bukan Ahlus Sunnah / Jama’ah. Orang yang mati dalam keadaan membangkang pada imam yang shah, maka ia mati seperti orang yang mati dalam keadaan Jahiliyyah. (Hanan, T.T : 218).

Dari beberapa pendapat di atas, para Ulama menyimpulkan bahwa makna jama’ah pada dasarnya berkisar pada dua makna pokok, yaitu :

a. Aspek Ilmiah

Yaitu bersepakat atas suatu aqidah, satu manhaj yang benar yaitu Al-Qur’an san As-Sunnah serta memahaminya sebagaimana pemahaman generasi sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in dan Ulama mujtahidin sesudahnya yang terpercaya terhadap kedua sumber Islam ini. Jama’ah artinya mengikuti kebenaran meskipun kita sendirian, dan meninggalkan kebathilan meski kebathilan itu dianut oleh mayoritas manusia di muka bumi ini.

b. Aspek Politik

Berjama’ah artinya berkumpul dan hidup di bawah sebuah negara Islam, dibawah kepemimpinan seorang imam / khalifah yang shah secara syar’i. Berjama’ah itu adalah wajib dan keluar dari jama’ah itu tidak boleh baik jama’ah dalam artian berkumpulnya umat Islam di bawah kepemimpinan seorang imam maupun berkumpulnya umat Islam di atas satu aqidah. (Hanan, T.T : 221).

3. Definisi Ahlus Sunnah Wal Jama’ah

Seperti yang telah dijelaskan, Sunnah merupakan ungkapan kesetiaan mengikuti manhaj Al-Qur’an dan Sunnah dalam segala dimensinya, baik yang prinsipil maupun yang bukan prinsipil (furu’).

Sedang kata jama’ah berarti orang-orang yang berkumpul. Tapi yang dimaksud dengan jama’ah dalam terminologi syari’at Islam adalah Rasulullah Saw, para sahabatnya, para tabi’in dan semua generasi yang megikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat. Rasulullah Saw telah ditanya tentang siapakah yang termasuk ‘golongan yang selamat’. Maka beliau terkadang menjawab : ‘Yang mengikuti aku dan para sahabatku’, tapi di lain waktu beliau menjawab : ‘Al-Jama’ah’.

Dengan demikian, maka yang dimaksud “Ahlus Sunnah Wal Jama’ah” sebagai kata majemuk yakni orang-orang yang mengikuti aqidah Islam yang benar, komitmen dengan manhaj Rasulullah Saw bersama para sahabata dan tabi’in dan semua generasi yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat. Rasulullah Saw bersabda :

عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ مِنْ بَعْدِى عُضُوْا عَلَيْهِ بِالنَّوَاجِدِ.

“Hendaklah kamu berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para klalifah yang lurus sesudahku, gigitlah ia dengan gigi taring”.(Matta, T.T : 8).

4. Sebab Penamaan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah

Menurut Ibnu Taimiyyah, Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah madzhab yang sudah ada sejak dulu. Ia sudah dikenal sebelum Allah Swt menciptakan Abu Hanifah, Malik, Syafi’I, dan Ahmad. Ahlus Sunnah adalah madzhab sahabat yang diterima dari Nabi Muhammad Saw. Barang siapa menentang itu, menurut pandangan Ahlus Sunnah berarti ia pembuat bid’ah. (Hanan, T.T : 222).

Ahlus Sunnah Wal Jama’ah merupakan kelanjutan dari jalan hidup Rasulullah Saw dan para sahabatnya. Kalaupun bangkit seorang Imam pada zaman fitnah dan keterasingan Ahlu Sunnah yang menyeru manusia kepada aqidah yang benar dan memerangi pendapat yang menentangnya, maka ia tidaklah membawa sesuatu yang baru. Ia hanya memperbaharui madzhab Ahlus Sunnah yang sudah usang dan menghidupkan ajaran yang sudah terkubur. Sebab aqidah dan sistemnya (manhaj) walau bagaimanapun tak akan berubah.

Adapun mengenai awal penamaan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah atau Ahlul Hadits ialah ketika terjadinya perpecahan dengan munculnya berbagai goongan sesat serta banyaknya bid’ah dan penyimpangan. Pada saat itulah Ahlus Sunnah menampakkan identitasnya yang berbeda dengan yang lain, baik dalam aqidah maupun manhaj mereka. Namun pada hakekatnya, mereka itu hanya merupakan proses kelanjutan dari apa yang dijalankan Rasulullah Saw dan para sahabatnya.

Para Ulama seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Imam Al-Isfirayaini menyebutkan bahwa dinamakan Ahlus Sunnah karena mengikuti jalan / petunjuk / sunnah Rasulullah. Nama tersebut sebagai pembeda dari firqah-firqah sesat yang menyimpang dari apa yang telah diturunkan oleh Rasulullah Saw dan sudah tersebar luas ketika itu.

5. Nama-nama Lain Ahlus Sunah Wal Jama’ah

a. Ahlul Hadits

Hadits adalah ucapan Rasulullah Saw. Ahlul Hadits adalah orang-orang yang dinisbatkan kepada orang yang menjadikan hadits Rasulullah Saw sebagai salah satu sumber penerimaan Aqidah Islam yang benar.

Penamaan mereka sebagai Ahlul Hadits dimaksudkan untuk membedakannya dengan Ahlul Kalam yang menganggap bahwa kalam mereka harus didahulukan atas hadits Rasulullah Saw dalam bidang aqidah. Ahlul Hadits semakna dengan Ahlus Sunnah, artinya mereka ini kelompok umat Islam yang paling berpegang teguh kepada sunnah Rasulullah Saw dan jama’ah. (Hanan, T.T : 223).

b. Ahlul Atsar

Secara bahasa kata Atsar mempunyai makna bekas, sisi, atau pengaruh. Sedangkan secara syar’I, mengenai makna Atsar ini terdapat dua pendapat di dalamnya. Yang pertama menurut mayoritas Ulama mengatakan bahwa hadits, sunnah, dan atsar itu maknanya sama. Sedangkan pendapat yang kedua yakni menurut Ulama Khurasan bahwa atsar khusus untuk perkataan dan perbuatan sahabat dan tabi’in. Sedang untuk Nabi, mereka menyebutnya dengan hadits atau sunnah.. namun demikian pendapat mayoritas Ulama yang lebih kuat mengenai hal ini. (Hanan, T.T : 224).

Maka dalam hal ini, Ahlus Sunnah sering juga disebut dengan Ahlul Atsar. Ahlus Sunnah disebut dengan Ahlul Atsar karena mereka mengikuti atsar-atsar yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw dan para sahabat.

c. Salaf

Secara bahasa kata salaf merupakan jamak dari kata salif. Salif artinya orang yang terdahulu sesuai urutan waktu (pendahulu, nenek moyang). Salaf artinya jama’ah (kelompok pendahulu). Salaf juga bermakna para pendahulu dari bapak-bapakmu dan kerabatmu yang secara umur dan kemuliaannya lebih tinggi darimu.

Secara syar’i para Ulama menyatakan bahwa makna salaf tidak jauh dari makna sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in dari kalangan para Ulama, dan Imam terpercaya yang telah diakui keilmuan dan ittiba’nya terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah. (Hanan, T.T : 225).

Adapun yang dimaksud dengan kaum salaf adalah mereka yang memegangi al-Ma’sur (Al-Qur’an dan As-Sunnah), mendahulukan riwayat atas kajian (Al-Dirayah) dan mendahulukan naql (Al-Qur’an dan As-Sunnah). Atas akal. Mereka disebut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah karena mereka berpendapat bahwa metode mereka adalah orisinal (Al-Asl). Mereka mengimani Allah tanpa banyak tanya. Mereka memahami ayat-ayat Al-Qur’an secara global berdasarkan pada pengertian-pengertian lahir, mereka tidak menakwilkan dan mengantropomorfismekan Allah, tetapi menyucikan dan menyerahkan masalah itu kepada Allah Swt. (Asmin, 1995 : 36).

d. Firqah Najiyah (Golongan yang selamat)

Selain Ahlus Sunnah, Ahlul Hadits, Ahlul Atsar, dan Salaf ; Ahlus Sunnah Wal Jama’ah juga sering disebut dengan Firqah Najiyah, penamaan ini didasarkan pada hadits-hadits yang menerangkan akan pecahnya umat Islam menjadi 73 golongan, dimana 72 golongan akan tersesat dan yang selamat (najiyah) hanya satu saja yaitu ‘maa ana alaihi wa ashhabi’ (apa yang aku dan para sahabatku berada di atasnya jama’ah dengan artian ilmu (mengikuti kebenaran), Ahlus Sunnah - dan dalam lafal lain disebutkan Jama’ah. (Hanan, T.T : 225).

e. Thaifah Manshurah (Kelompok yang Menang / Ditolong Allah)

Nama lain dari Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang disebutkan dalam hadits-hadits Rasulullah Saw adalah Thaifah Manshurah. Banyak hadits-hadits yang menyebutkan tentang hal ini, di antaranya sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh sahabat Mughirah dari Nabi bahwa beliau bersabda : “Akan senantiasa ada manusia dari umatku yang menang (berada di atas kebenaran) sampai datang kepada mereka urusan (keputusan) Allah sedang mereka dalam keadaan dhahirin (menang). (Hanan, T.T : 226).

Golongan yang mendapat pertolongan sebagaimana yang disebut dalam hadits-hadits Rasulullah Saw adalah golongan pejuang dari kalangan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang menang layak untuk memperoleh pertolongan Allah, baik secara moral maupun material. Pertolongan Allah itu bisa berupa ilmu yang shahih, perilaku yang lurus terhadap sunnah-sunnah Allah di alam semesta, serta melaksanakan hal-hal yang dijadikan Allah sebagai wasilah untuk mencapai hasil yang diharapkan.

Maka jelaslah bahwa golongan yang mendapat pertolongan itu adalah golongan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Golongan ini senantiasa menjalankan hal-hal yang bisa mendapatkan kemenangan sehingga sudah selayaknya Allah memberi mereka pertolongan. Mereka juga sama sekali tidak mempedulikan orang-orang yang menentang, meremehkan, atau merendahkan mereka. (Hanan, T.T : 227).

6. Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah

Aqidah ini disebut dengan Aqidah Ahlus Sunnah karena para penganutnya selalu berpegang teguh dengan sunnah Rasulullah Saw, dan disebut dengan Aqidah Ahlul Jama’ah karena aqidah ini merupakan aqidah penganut Islam yang berkumpul dalam kebenaran dan tidak berpecah-pecah dalam dien. Mereka senantiasa mengikuti manhaj Imam-imam yang haq dan tidak keluar darinya dalam setiap urusan-urusan aqidah. Mereka adalah Ahlul Atsar, Ahlul Hadits, At-Thaifah Al-Manshurah dan Al Firqah An Najiyyah.

Ibnu Taimiyyah menyebutkan : “Inilah aqidah golongan yang selamat lagi tertolong hingga hari kiamat – Ahlus Sunnah Wal Jama’ah-, yaitu : Beriman kepada Allah, Para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya hari berbangkit setelah mati, dan Beriman kepada taqdir Allah yang baik maupun yang buruk”. (Hanan, T.T : 227).

Ahlus Sunnah Wal Jama’ah mempunyai prinsip-prinsip penting (Al-Ushul) yang kemudian menjadi ciri dan inti dari aqidah mereka, yaitu :

1. Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah tentang sifat-sifat Allah, mereka menetapkan sifat-sifat Allah tanpa menanyakan bagaimananya (Itsbat bila Takyif) dan mensucikan sifat-sifat-Nya tanpa mengingkarinya.

2. Mereka berkeyakinan bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah, bukan makhluk.

3. Mereka bersepakat bahwa orang-orang mukmin dapat melihat Rab-Nya di syurga dengan kedua mata mereka.

4. Mereka meyakini bahwa Allah tidak bisa dilihat oleh siapapun di alam dunia ini.

5. Mereka mengimani semua berita keadaan setelah mati yang disampaikan Rasulullah Saw.

6. Mereka mengimani qadar Allah dengan segala tingkatannya.

7. Ahlus Sunnah berpendapat bahwa iman adalah ucapan dan perbuatan, dapat bertambah dan berkurang.

8. Mereka meyakini bahwa iman mempunyai ashl (pokok) dan furu’ (cabang), iman seseorang tidak terlepas kecuali dengan terlepasnya pokok keimanan.

9. Mereka bersepakat terhadap kemungkinan berkumpulnya antara siksa dan pahala pada diri seseorang. Namun, mereka tidak mewajibkan siksa atau pahala pada orang tertentu kecuali dengan dalil khusus.

10. Mereka mencintai dan mendukung sahabat Rasulullah, ahlul bait, dan isteri-isteri beliau tanpa meyakini adanya kema’shuman terhadap siapapun kecuali Rasulullah Saw.

11. Mereka mempercayai adanya karamah para wali dan kejadian-kejadian luar biasa yang diberikan Allah kepada mereka.

12. Mereka bersepakat untuk memerangi siapapun yang keluar dari syari’at Islam, sekalipun ia menucapkan dua kalimat syahadat.

13. Ahlus Sunnah Wal Jama’ah berperang bersama pemimpin-pemimpin mereka, baik pemimpin yang baik maupun durhaka, demi menegakkan syari’at Islam. (Hanan, T.T : 228).

7. Ciri-ciri Khusus Ahlus Sunnah Wal Jama’ah

Ahlus Sunnah Wal Jama’ah mempunyai ciri-ciri khusus yang berbeda dengan firqah-firqah sesat, di antara ciri-ciri mereka antara lain :

1. Selalu menaruh perhatian terhadap Al-Qur’an dengan cara menghafal, membaca dan menela’ah tafsirnya. Begitu juga terhadap Al-Hadits dengan cara mengetahui yang shahih dari yang dhaif.

2. Masuk ke dalam dienul Islam secara keseluruhan.

3. Berittiba’ kepada Rasulullah Saw dan meninggalkan bid’ah serta selalu berjama’ah dan meninggalkan firqah dan segala perselisihan dalam dien.

4. Meneladani para Imam yang mendapat petunjuk dan adil, yakni dalam masalah ilmu, amal, dan da’wahnya, yaitu para sahabat dan siapa saja yang mengikuti mereka dengan baik sampai hari kiamat.

5. At Tawasut (pertengahan) dalam masalah aqidah, yakni mereka berada di pertengahan antara golongan yang bersikap ghuluw (berlebih-lebihan) dan tafrith (menganggap remeh).

6. Selalu berusaha untuk menyatukan kalimat kaum Muslimin dalam kebenaran dan menyatukan shaf mereka dalam barisan tauhid dan ittiba’ serta menjauhkan diri dari sarana yang mengarah kepada perselisihan dan perpecahan di antara umat.

7. Melaksanakan da’wah ialallah dalam segala bidang baik aqidah, ibadah, akhlaq, dan segala permasalahan hidup. Menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, berjihad di jalan Allah, menghidupkan sunnah dan menegakkan hokum Allah di muka bumi.

8. Bersikap Inshaf dan adil.

9. Ahlus Sunnah memikul amanat ganda ; pertama adalah amanat ilmu berupa iltizam, da’wah, dan jihad ; sedang yang kedua adalah amanat untuk memelihara keutuhan jama’ah Islam dalam pengertian yang luas.

10. Loyalitas Ahlu Sunnah hanya dalam kebenaran.

11. Saling memberikan loyalitas kepada sesama mereka dengan loyalitas secara umum dan saling memaafkan.

12. Dalam memberikan dukungan dan permusuhan adalah berdasarkan prinsip ad-dien.

13. Ahlus Sunnah beramal berdasarkan kesatuan hati dan kesamaan kalimat. (Hanan, T.T : 229).

8. Tokoh-tokoh Ahlu Sunnah Wal Jama’ah

Tokoh-tokoh Ahlus Sunnah adalah para sahabat yang beriman terhadap apa yang dibawa oleh Rasulullah Saw, pernah melihat beliau, dan mati dalam keadaan Islam, para tabi’in, atba’ut taabi’in dan juga orang-orang yang berjalan di atas manhaj mereka serta mengikuti mereka dengan baik sampai hari kiamat.

Di antara tokoh-tokoh sahabat yang termasuk golongan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah : para Khulafaur Rasyidin, sepuluh orang yang sudah dijamin masuk jannah, Ahlul Badar, Ahlul Uhud, dan Ahlu Baitur Ridwan.

Di antara tokoh-tokoh tabi’in :

- Dari Ahlu Madinah, di antaranya : Sa’id bin Musayyib, Muhammad bin Al Hanafiyyah, Ali bin Husain.

- Dari Ahlu Makkah, di antaranya : Atho’ bin Kaisan, Mujahid, Ibnu Abi Mulaikah.

- Dari Ahlu Kufah, di antaranya : Alqomah bin Qais, Thalhah bin Musharrif.

- Dari Ahlu Bashrah, di antaranya : Al Hasan bin Abil Hasan Al Bashari, Muhammad bin Sirrin.

- Dari Ahlu Khurasan, di antaranya : Abdullah bin Mubarak.

Sedangkan di antara tokoh-tokoh Atbaa’ut Tabi’in antara lain : Sufyan Ats Tsauri, Allaits bin Sa’id, Fudhail bin Iyadh, dan Al Auzaa’iy.

Kemudian orang-orang yang mengikuti mereka, di antaranya : Abdullah bin Mubarak, As Syafi’I, Abdurrahman bin Mahdiy, dan Yahya bin Sa’id Al-Qathan.

Kemudian para murid mereka yang mengikuti manhaj mereka, di antaranya : Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in dan Ali bin Al Madaniy. Kemudian murid-murid mereka di antaranya : Al Bukhari, Muslim, Abu Hatim, Abu Zur’ah, At Tirmidzi, Abu Daud, dan An Nasa’i.

Kemudian orang-orang yang berjalan di atas manhaj mereka. Selanjutnya dari generasi-generasi yang menyusul mereka seperti : Abnu Jarir At Thabariy, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Qutaibah, Ibnu Abdil Bar, Abnu As Shalah, Ibnu Taimiyyah, Al Mizzy, Ibnu Katsir, Ad Dzahabiy, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, dan Ibnu Rajab Al Hanbaliy.

Kemudian orang yang menyusul mereka dan mengikuti jejak langkah mereka dalam berpegang teguh kepada Al-Kitab dan As-Sunnah dan memahaminya dengan pemahaman para sahabat sampai datangnya hari kiamat. Dan orang yang terakhir dari mereka akan memerangi Dajjal. Mereka itulah yang disebut dengan As Salaf Ahlul Hadits. (Hanan, T.T : 230). Wallahu A’lam bis Shawwab.


BAB III

RUQYAH DALAM PANDANGAN AKIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH

A. Hubungan Ruqyah dengan I’tikad

Pada pembahasan ini penulis akan mencoba menguraikan permasalahan mengenai ruqyah dalam kaitannya dengan I’tikad. Mengapa penulis angkat permasalahan mengenai hal ini ?, karena ruqyah ini sendiri sangat erat sekali kaitannya dengan aqidah yang mana pada pembahasan lebih jauhnya lagi permasalahan ruqyah ini akan terkait dengan sikap ketawakalan seorang hamba terhadap Allah SWT. Sebagian ulama mengatakan bahwa dengan meminta ruqyah kepada orang lain merupakan suatu celaan terhadap sikap tawakal kepada Allah Swt, sedangkan sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa meminta ruqyah itu tidak menafikan tawakal kepada Allah Swt, hanya kehilangan sebagian dari kesempurnaannya saja. Maka dari dua pendapat diatas timbulah satu pertanyaan, apakah ruqyah dapat menafikan tawakal kepada Allah Swt ?. Untuk menjawab hal tersebut penulis akan mencoba mengaitkan terlebih dahulu mengenai hubungan antara ruqyah dengan I’tikad (aqidah) sebagai berikut :

Jika penulis klasifikasikan, adanya hubungan antara ruqyah dengan I’tikad ini dapat dilihat dari beberapa segi :

Pertama, mengingat ada beberapa ruqyah yang di dalamnya terdapat unsur permohonan suatu perlindungan kepada selain Allah Swt, seperti dengan cara meminta perlindungan kepada jin, arwah orang-orang yang telah meninggal dunia dan sebagainya. Kesemuanya ini jelas sangat bertentangan sekali dengan aqidah bahkan hal itu dapat menjerumuskan pelakunya kedalam perbuatan syirik. Ruqyah seperti inilah yang dimaksudkan oleh Rasulullah saw dahulu sebagai ruqyah syirikiyah dan hal ini termasuk dalam kategori penyekutuan terhadap Allah Swt. Sebagaimana yang telah di riwayatkan oleh Ibnu Mas’ud r.a, ia berkata : “Aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda :

اِنَّ الرَُقَى وَالتَّمَائِمُ وَالتَّوَالَةُ شِرْكٌ. (رواه أحمد و أبوداود).

Artinya : “Sesungguhnya ruqyah, jimat, dan pelet itu syirik”. (Suhardi, 2003;144).

Kedua, ada sebagian orang yang bergantung sepenuhnya kepada ruqyah tersebut, mereka menyangka bahwa ruqyah itulah yang sebenarnya dapat menyembuhkan mereka. Mereka tidak mengetahui bahwa ruqyah tersebut hanyalah sebagai penyebab yang pada hakikatnya ruqyah tersebut tidak dapat menyembuhkan seorang pun kecuali atas izin dan kehendak Allah Swt. Ruqyah semacam inilah yang dahulu pada zaman Jahiliyyah dikenal dengan sebutan tama’im, mereka mengantungkan diri-diri mereka sepenuhnya kepada benda tersebut, padahal bergantung pada penyebab itu bertentangan dengan tawakal yang merupakan intisari ibadah.

Ketiga, di antara mereka ada pula yang meyakini bahwa ruqyah itulah yang sebenarnya menyembuhkan mereka, mereka yakin bahwa ruqyah itulah yang sebenarnya sebagai penyembuh atas penyakit yang mereka derita. Mereka lupa akan adanya Dzat Yang Maha Berkehendak atas segala perkara. Jadi jelas hal ini sangat bertentangan sekali dengan aqidah yang benar yang telah ditetapkan oleh Allah Swt serta bertentangan dengan apa yang telah diajarkan Rasul-Nya.

Dari beberapa keterangan di atas, sementara dapat penulis simpulkan bahwa pembahasan tentang ruqyah ini juga merupakan pembahasan tentang aqidah sebab di antara para Ulama yang benar-benar memperhatikan kemurnian tauhid dan membersihkannya dari unsur-unsur kesyirikan, mereka membicarakan masalah ini khusus dalam kitab-kitab tauhid. Namun di antara sebagian Ulama juga ada yang menyebutkan tentang pembahasan ruqyah ini dalam kitab-kitab pengobatan seperti Imam Bukhari yang memberi judul pada pembahasan ruqyah ini dengan judul “Kitabut- Tiib (Kitab tentang Pengobatan) dan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah yang mana penekanan mereka hanya pada pengobatan dengan menggunakan ruqyah yang disyari’atkan saja. Adapun ruqyah yang mengandung kesyirikan dan kebid’ahan di dalamnya, maka itu semua terdapat dalam kitab-kitab khusus yang membahas masalah aqidah.

Di sebagian para ulama ada yang memakruhkan tentang ruqyah ini, mereka memperkirakan bahwa hal itu dapat menafikan tawakal kepada Allah Swt. Benarkah dengan menggunakan ruqyah dapat menafikan tawakal kepada Allah Swt ?. Insya Allah di bawah ini penulis akan mencoba menguraikan mengenai hal tersebut.

Sebagian Ulama memakruhkan berobat dengan menggunakan ruqyah dan kayy (pengobatan dengan menggunakan besi panas, kemudian ditempelkan pada anggota badan yang sakit). Pendapat ini di sandarkan pada hadits Nabi saw yang dalam kitab Shahih Bukhari yang Imam Bukhari menulisnya dalam bab “Orang yang tidak melakukan ruqyah sebagai pengobatan”, lengkapnya sebagai berikut :

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضى الله عنهما قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص : (عُرْضَتْ عَلَىَّ الأُمَمُ, فَجَعَلَ النَّبِيُّ وَالنَّبِبَّانِ يَمُرُّوْنَ مَعَهُمُ الرَّهْطُ, وَالنَّبِيُّ لَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ, حَتَّى رُفِعَ لِي سَوَادُ عَظِيْمٌ, قُلْتُ : مَا هَذَا ؟ أُمَّتِى هَذِهِ ؟ قِيْلَ : هَذَا مُوْسَى وَقَوْمُهُ, قِيْلَ : أُنْظُرْ إِلىَ الأُفُقِ, فِإِذَا سَوَادُ يَمْلأُ الأُفُقَ, ثُمَّ قِيْلَ لِى : أُنْظُرْ هَا هُنَا وَ هَا هُنَا فِى افَاقِ السَّمَاءِ, فَأِذَا سَوَادٌ قَدْ مَلأَ الأُفُقَ, قِيْلَ هَذِهِ أُمَّتُكَ, وَيَدْخُلُ الْجَنَّةَ مِنْ هؤُلاَءِ سَبْعُوْنَ أَلْفًا بِغَيْرِ حِسَابٍ). ثُمَّ دَخَلَ وَلَمْ يُبَيِّنْ لَهُمْ, فَأَفَاضَ الْقَوْمُ, وَقَالُوْا : نَحْنُ الَّذِيْنَ امَنَّا بِاللهِ وَاتَّبَعْنَا رَسُوْلَهُ, فَنَحْنُ هُمْ, أَوْ أَوْلاَدُنَا الَّذِيْنَ وُلِدُوْا فِى الإِسْلاَمِ, فَإِنَّا وُلِدْنَا فِى الْجَاهِلِيَّةِ, فَبَلَغَ النَّبِيَّ ص فَخَرَجَ, فَقَالَ : (هُمُ الَّذِيْنَ لاَ يَسْتَرْقُوْنَ, وَلاَ يَتَطَيَّرُوْنَ, وَلاَ يَكْتَوُوْنَ, وَعَلَى رَيِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ). فَقَالَ عُكَاشَةُ بْنُ مِحْصَنِ : أَمِنْهُمْ أَنَا يَا رَسُوْلَ اللهِ ؟. قَالَ : ( نَعَمْ ). فَقَامَ اخَرُ فَقَالَ : أَمِنْهُمْ أَنَا ؟ قَالَ : (سَبَقَكَ بِهَا عُكَاشَةُ). (رواه البخارى : 5705).

Diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas r.a., dia berkata : Rasulullah saw pernah bersabda, “Berbagai umat diperlihatkan kepadaku. Satu atau dua orang nabi mulai lewat dengan sejumlah pengikutnya, juga seorang nabi tanpa pengikut seorangpun. Berikutnya aku melihat umat dalam kelompok besar, lalu aku bertanya, ‘Siapa mereka ini ? apakah mereka ini umatku ?’ Dikatakan kepadaku, ‘Mereka itu Musa beserta pengikutnya’. Kemudian dikatakan kepadaku, ‘Lihatlah ke ufuk sana !’ Ternyata sangat banyak sekali umat manusia yang memenuhi ufuk. Dikatakan lagi kepadaku, ‘Lihatlah ke seluruh ruang di kolong langit !’ Ternyata amat banyak sekali umat manusia yang memenuhi ruang di kolong langit itu, kemudian dikatakan kepadaku, ‘Mereka itu umatmu dan 70.000 orang dari mereka akan masuk surga tanpa hisab (tanpa diperiksa catatan amal perbuatan mereka)’. Seusai bersabda Rasulullah saw masuk ke rumah tanpa menjelaskan siapa 70.000 orang tersebut, atau mungkin anak-anak kita yang lahir pada masa Islam, karena kita lahir pada masa Jahiliyyah. Ketika pembicaraan orang-orang tersebut didengar oleh Nabi saw, beliau keluar kemudian bersabda. “70.000 orang tersebut adalah mereka yang tidak melakukan pengobatan dengan ruqyah (ruqyah/mantra selain Asma Allah), tidak menentukan nasib atas dasar gerak-gerik burung (tathayyur), tidak melakukan pengobatan dengan mengecos/menggosok bagian tubuh yang sakit dengan besi yang dipanaskan dengan api, dan mereka itu hanya berserah diri kepada Allah”. Ukasyah bin Mihshan berkata : “Ya Rasulullah ! apakah aku termasuk dalam kelompok 70.000 orang tersebut ?” Rasulullah saw bersabda : “Ya”. Seseorang yang lain berkata : “Apakah aku juga termasuk dalam kelompok 70.000 orang itu ?” Rasulullah bersabda : “Dalam hal ini kau sudah didahului oleh ‘Ukasyah’. (Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari, nomor hadits : 5705). (Zaidun, 2002 : 964).

Dalam mengomentari hal ini, Ibnu Hajar berkata : “Orang yang memakruhkan pengobatan dengan menggunakan ruqyah dan kayy ini berdalil dengan hadits diatas, mereka mendakwakan bahwa pengobatan dengan cara ruqyah dan kayy merupakan pencelaan terhadap sikap tawakal”. (Muhiburrahman, 2004 : 29). Maka untuk menanggapi hal itu, para Ulama menjawab dengan berbagai jawaban di antaranya :

1. Ath-Thabari dan Ma’zuri mengatakan bahwa yang dimaksudkan dalam hadits tersebut adalah orang-orang yang meyakini tentang hukum tabi’at, maksudnya bahwa zat obat-obatan itu sendirilah yang menyembuhkan penyakit yang mereka derita sebagaimana galibnya (kebiasaannya). (Muhiburrahman, 2004 : 29).

2. Ada juga Ulama yang menjawab bahwa yang dimaksud dengan ruqyah dalam redaksi hadits diatas adalah dimana ruqyah ini sebaiknya ditinggalkan, yakni ruqyah yang berasal dari perkataan orang zaman Jahiliyyah dahulu dan setiap ucapan yang tidak dimengerti maknanya karena dikhawatirkan kalimat tersebut dapat menggelincirkan pelakunya jatuh pada lembah kekafiran. Namun kalau seandainya dikatakan setiap orang yang menggunakan ruqyah Jahiliyyah dan sebagainya, jelas mereka tidaklah termasuk orang muslim. Maka jawaban seperti ini juga tidaklah benar. (Muhiburrahman, 2004 : 30).

3. Ad-Daudi menjawab tentang hal itu, “Yang dimaksud oleh hadits diatas adalah mereka yang tidak meminta ruqyah, tidak meminta di kayy dan tidak pula bertathayur di waktu mereka sehat karena takut akan terkena penyakit. Adapun orang yang menggunakan obat setelah dirinya tertimpa suatu penyakit, maka tidaklah termasuk dalam hadits ini”. (Muhiburrahman, 2004 : 30).

4. Bisa jadi maksud hadits diatas, yakni 70.000 orang yang masuk surga tanpa dihisab, mereka adalah golongan yang tidak memperhatikan masalah-masalah kedunian dan kesibukan-kesibukan yang ada di dalamnya. Seperti halnya orang yang melakukan hal-hal yang haram dapat mencegah dirinya untuk masuk surga dan mereka tidak melakukan hal tersebut dengan maksud untuk menghindari penghalang-penghalang itu. Begitu juga bagi mereka yang meminta di ruqyah, dan ini adalah jawaban Al-Hulaimi. (Muhiburrahman, 2004 : 31)

5. Maksud dari meninggalkan ruqyah dan kayy adalah berserah diri sepenuhnya kepada Allah Swt tatkala menghadapi cobaan tersebut serta ridha dengan ketentuan- ketentuan Allah Swt. Dan hal itu lebih utama dari pada berusaha mencari penyebab. (Muhiburrahman, 2004 :31).

Adapun sikap Rasulullah saw yang telah memberikan contoh kepada umatnya adalah semata-mata sebagai pensyari’atan dan untuk menjelaskan bahwa hal itu boleh dilakukan. Sehingga walaupun demikian, hal tersebut tidak mengurangi derajat ketawakalannya kepada Allah Swt dengan sebeb Rasulullah saw adalah orang yang paling sempurna tawakalnya kepada Allah Swt. Sehingga jika beliau berusaha mencari suatu penyebab, sama sekali hal itu tidak berpengaruh pada ketawakalannya itu. Dan hal ini berbeda dengan orang selain beliau.

Kesimpulannya, sebagaimana mereka berserah diri kepada Allah Swt, mereka pun tidak mencari penyebab untuk menghilangkan apa yang Allah timpakan atasnya. Adapun tindakan Rasulullah saw berobat kepada tabib adalah semata-mata untuk menjelaskan kepada umatnya bahwa hal itu memang boleh dilakukan. Adapun berikhtiar berobat dengan menggunakan sesuatu yang dimakruhkan memakainya, maka hal ini bukan merupakan suatu pencelaan terhadap sikap tawakal dan meninggalkan usaha tersebut juga ternyata tidak di syari’atkan. Dalam hal ini Abu Hurairah telah meriwayatkan dalam haditsnya yang ia terima dari Rasulullah saw sebagai berikut :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه, عَنِ النَّبِيِّ ص قَالَ : مَا أَنْزَلَ اللهُ دَاءً إِلاَّ أنْزَلَ لَهُ شِفَاءً.( رواه البخارى : 5678).

Artinya : “Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw pernah bersabda : « Allah tidaklah menurunkan suatu penyakit melainkan Dia juga menurunkan obatnya ». (Zaidun, 2002 :962).

Dalam riwayat lain disebutkan juga sebagai berikut :

عَنْ أُسَامَةَ بْنِ ِشَرِيْكٍ قَالَ : جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ ص فَقَالَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ ! أَنَتَدَاوَى ؟ قَالَ : نَعَمْ يَا عِبَادَ اللهِ تَدَاوَوْا فَإِنَّ اللهَ عَزَّ وَ جَلَّ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلاَّ وَضَعَ لَهُ شِفَاعًا, غَيْرُ دَاءٍ وَاحِدٍ قَالُوْا : مَا هُوَ ؟ قَالَ : اَلْهَرَمُ. ( رواه أحمد ).

Artinya : Dari Usamah bin Syarik, ia berkata, ‘Suatu hari aku bersama Rasulullah saw. Pada saat iotu datanglah beberapa orang badui seraya berkata, ‘Hai Rasulullah, apakah kami harus berobat ?’ Beliau menjawab, ‘Ya, wahai hamba Allah. Berobatlah kalian, sesungguhnya Allah Swt tidaklah menaruh suatu penyakit kecuali menempatkannya juga (baginya) penyembuhan (obat), kecuali satu penyakit saja. ‘Mereka bertanya, ‘Penyakit apakah itu wahai Rasulullah ?’. Beliau menjawab, ‘Yaitu penyakit ketuaan !. (Muhiburrahman, 2004 : 35).

Komentar Ibnu Qayyim tentang hadits diatas, beliau mengatakan bahwa :

“Hadits ini mengandung penetapan tentang hukum sebab akibat, menjelaskan tentang kekeliruan orang yang mengingkarinya serta mengandung anjuran untuk berobat, karena sesungguhnya hal itu tidak termasuk menafikan tawakal kepada Allah Swt, sebab hal itu (berobat) sama juga halnya dengan berusaha mencegah kelaparan, kepanasan, dan kedinginan yang mana usaha pengobatannya dengan menggunakan hal-hal yang berlawanan dengannya. Sebab, hakikat ketauhidan seseorang itu tidak akan sempurna kecuali dengan berikhtiar mencari penyebab-penyebab yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. Sedangkan jika kita membiarkannya begitu saja tanpa mau berikhtiar, hal itulah yang justru merupakan celaan terhadap sikap tawakal itu sendiri. (Muhiburrahman, 2004 : 35)

Maka oleh sebab itu, janganlah bagi seorang hamba menjadikan ketidakmampuannya berikhtiar sebagai tawakal, karena hakikat tawakal yang sebenarnya adalah manakala kita telah berusaha sekuat tenaga untuk mencari solusi yang terbaik atas apa yang Allah Swt timpakan pada kita yang kemudian menyerahkan kembali sepenuhnya ke hadirat Allah Swt manakala proses ikhtiar telah kita penuhi.

Adapun analisis penulis mengatakan bahwa mereka yang tidak mau berobat itu berpijak pada hadits yang menerangkan tentang kisah seorang perempuan yang terkena penyakit ayan (gila). Lengkapnya sebagai berikut :

عَنْ عَطَاءِ ابْنِ رَبَّاحٍ عَنْ أَنَسٍ قَالَ : اَلاَ أُرِيْكَ امْرَاءَةً مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ ؟ فَقُلْتُ : بَلىَ, فَقَالَ هَذِهِ الْمَرْاءَةُ السَّوْدَاءُ أَتَتِ النَّبِيَّ ص فَقَالَتْ : إِنِّى أُصْرَعُ وَإِنَّى أَتَكَشَّفُ فَادْعُ اللهَ تَعَلىَ لِيْ فَقَالَ : إِنْ شِئْتِ صَبَرْتِ وَلَكِ الْجَنَّةَ وَإِنْ شِئْتِ دَعَوْتُ اللهَ أَنْ يُعَافِيْكِ فَقَالَتْ : أَصْبِرُ ثُمَّ قَالَتْ : إِنِّى أَتَكَشَّفُ فَادْعُ اللهَ لىِ أَنْ لاَ أَتَكَشَّفَ فَدَعَالَهَا. ( متفق عليه ).

Artinya : Dari Atha bin Rabah dari Anas r.a. berkata : Maukah aku tunjukkan seorang wanita ahli surga ? Aku Menjawab : Ya ! lalu Anas berkata : Inilah wanita yang hitam yang pernah datang kepada Nabi saw lalu berkata : “Sesungguhnya aku berpenyakit ayan sehingga terbuka aurat, maka berdo’alah engkau pada Allah untukku”. Nabi Menjawab : “Jika kau mau bersabar kamu akan mendapatkan surga, dan jika engkau mau, aku akan berdo’a kepada Allah Swt untuk menyembuhkanmu”. Wanita itu berkata : “ku akan bersabar”. Lalu ia menyambung perkataannya : tetapi auratku terbuka ?!, berdo’alah kepada Allah supaya auratku tidak terbuka. Maka Nabi pun mendo’akannya. (Zakaria, 2003 : 112).

Hadits diatas menjelaskan tentang kelebihan orang yang terkena penyakit ayan, jika ia bersabar terhadap cobaan dunia, balasan sebagai gantinya adalah surga. Namun jika ia mampu untuk berobat dengan giat tanpa mengenal rasa putus asa, maka hal itu lebih baik daripada meninggalkannya, kira-kira seperti itulah mungkin tafsirannya. Disamping itu juga sebagian para Ulama menjadikan hadits ini sebagai dalil atas bolehnya untuk tidak berobat. Namun dalam hal berobat ini para Ulama masih berbeda pendapat. Apakah hal itu boleh namun lebih baik ditinggalkan, sunnah ataukah wajib ?.

Sebagian Ulama mengatakan bahwa berobat itu boleh namun meninggalkannya adalah lebih baik. Hal ini disandarkan pada hadits diatas dan yang semakna dengannya dalam pembahasan terdahulu.

Sebagian Ulama yang lain mengatakan sunnah mustahab dan ada juga yang mengatakan sunnah mu’akadah yang hampir mendekati wajib. Sedangkan menurut sebagian ulama yang lain, mereka berpendapat, sama saja antara berobat dengan tidak berobat.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengomentari terhadap perbedaan pendapat diatas sebagai berikut : « Menurut sebagian besar Ulama, berobat tidaklah wajib, hanya sebagian kecil saja di antara mereka yang mewajibkannya ». (Muhiburrahman, 2004 : 38).

Maka hemat penulis, jika kita lihat dari beberapa jenis penyakit, kita tahu bahwa jenis penyakit itu bermacam-macam, di antaranya ada yang kemungkinan besar membutuhkan penanganan pengobatan yang segera atau juga di antaranya ada yang kemungkinan besar pengobatannya lebih mudah dan jika kita membiarkannya justru akan menyebabkan kematian. Seperti orang yang tertusuk duri, setengah dari duri itu masuk ke dalam mata dan setengahnya lagi menonjol keluar dan mudah untuk kita bisa mencabutnya. Maka dalam keadaan seperti itu, penulis melihat bahwa wajib baginya untuk berobat sebab dengan membiarkannya dengan dalih tawakal kepada Allah Swt sama artinya dengan menjatuhkan diri sendiri ke dalam kebinasaan. Sebagai gambaran kongkrit, penulis ketengahkan tentang kisah Rasulullah saw tatkala selesai dari perang uhud, bekiau mengobati luka-lukanya dan begitu juga keadaan para sahabat, mereka tidak membiarkan luka-luka mereka sampai mengeluarkan darah dengan alasan karena tawakal kepada katentuan Allah Swt. Berbeda dengan penyakit ayan yang kemungkinan besar sulit sekali disembuhkan, akan tetapi tidak sampai membinasakan.

Jadi, tidak pantas untuk ukuran seorang Muslim meminta kepada orang lain untuk meruqyahnya sementara hasil ruqyah itu sendiri masih belum jelas karena hanya berdasarkan perkiraan semata. Namun tidak menutup kemungkinan manfaat dan kesembuhan yang dihasilkan memang nyata adanya.

Syaikh Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa :

“Tidak termasuk menafikan tawakal bagi seseorang yang meruqyah dirinya sendiri atau diruqyah oleh orang lain tanpa dia memintanya. Adapun yang menafikan tawakal adalah bagi mereka yang meminta untuk diruqyah kepada orang lain sebagaimana yang tercantum dalam kitab Bukhari dengan lafadz ‘La Yarquuna’ (tidak meminta diruqyah). (Muhiburrahman, 2004 : 39).

Namun syaikh Islam Ibnu Taimiyah mengakui bahwa beliau keliru tatkala menyampaikan hadits tadi, beliau meralat ucapannya bahwa yang dimaksud dengan lafadz أَلإِسْتِرْقَى adalah permintaan seseorang kepada orang lain untuk meruqyahnya. Ruqyah adalah termasuk do’a. Rasulullah saw dahulu sering meruqyah dirinya sendiri dan meruqyah orang lain, namun beliau belum pernah meminta untuk diruqyah kepada orang lain. Adapun kedudukan do’a, do’a bukanlah termasuk permintaan seseorang terhadap orang lain yang dipandang terhormat dari dirinya, akan tetapi kecenderungan do’a itu bersifat horizontal per individu yang kaitannya langsung antara seorang hamba dengan Pencipta-Nya. Maka dengan begitu orang yang tidak meminta tolong kepada orang lain, bahkan tidak memintanya sama sekali, artinya mereka hanya memohon kepada Allah Swt semata. Maka kedudukan mereka lebih mulia daripada orang yang meminta pertolongan kepada sesama. Rasulullah saw bersabda dalam sebuah haditsnya :

عَنِ ابنِ عَبَّاسٍ قَالَ : كُنْتَ خَلْفَ النَّبِيَّ ص يَوْمًا, فَقَالَ : ( يَا غُلاَمُ, إِحْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَ, إِحْفَظِ اللهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ, وَ إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللهَ, وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ). –رواه التِّرمذى وقال حسن صحيح.

Artinya : Dari Ibnu ‘Abbas. Ia berkata : Adalah saya psda satu hari dibelakang Nabi saw. Maka ia bersabda : Hai anak Muda ! peliharalah (batas-batas) Allah niscaya Allah memeliharamu. Peliharalah (batas-batas) Allah, niscaya engkau dapat Dia dihadapanmu. dan apabila engkau minta, maka mintalah kepada Allah ; dan apabila engkau minta tolong, maka minta tolonglah kepada Allah”. (Hassan, 1975 : 315).

Dalam hadits lain diceritakan bahwa pada suatu hari cambuk Abu Bakar Ash-Shiddiq terlepas dari genggamannya, di saat itu ia tidak meminta pertolongan kepada sahabat yang lainnya contohnya dengan mengatakan “Tolong ambilkan cambuk itu”, yang ada dia malah berkata “Sungguh Rasulullah memerintahkan kepadaku agar aku tidak meminta sesuatu apapun dari orang lain”.

Dalam kesempatan yang lainpun tatkala Rasulullah saw membai’at sekelompok sahabatnya. Beliau memberitahukan satu hal penting berupa perkataan yang sangat ringan kepada mereka, yaitu : “Janganlah kalian meminta sesuatu apapun dari orang lain”. Dan pada saat itu sahabat Rasul melihat cambuk yang terlepas dari genggaman tangan sahabat yang lain namun tidak ada satupun dari mereka yang mengatakan “Berikan cambuk itu kepadaku”.

Rasulullah saw bersabda dalam sebuah haditsnya :

يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مِنْ أُمَّتِى سَيْعُوْنَ أَلْفًا يِغَيْرِ حِسَابٍ وَقَالَ هُمُ الَّذِيْنَ لاَ يَتَطَيَّرُوْنَ وَلاَ يَكْتَوُوْنَ وَلاَ يَسْتَرْقُوْنَ وَعَلىَ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ. – رواه البخارى -

Artinya : “Akan masuk surga tujuh puluh ribu orang di antara umatku tanpa hisab, mereka adalah orang-orang yang tidak meminta diruqyah, tidak minta di-kayy, dan tidak bertathayur dan mereka hanya berserah diri sepenuhnya kepada Allah Swt”. (Zaidun, 2002 : 964).

Maka dalam hal berkaitan dengan hadits ini, Rasulullah saw menyanjung mereka karena mereka tidak meminta kepada orang lain untuk meruqyah mereka dengan sebab karena ruqyah adalah termasuk do’a. Begitu juga dengan kalimat لاَيَرْقُوْنَ (tidak meruqyah), ini dinilai keliru karena sesungguhnya apabila mereka meruqyah untuk orang lain atau mereka meruqyah diri-diri mereka sendiri, maka hal itu sesuai dengan apa yang di ajarkan oleh Rasulullah saw. Tetapi yang beliau tidak pernah ajarkan adalah meminta kepada orang lain untuk meruqyah dirinya. Yang perlu kita garis bawahi adalah meruqyah orang lain dan meruqyah diri sendiri adalah termasuk dalam kategori berdo’a untuk diri sendiri dan berdo’a untuk orang lain dan memang hal ini diperintahkan oleh Rasulullah saw. Orang yang meruqyah berarti telah berbuat baik terhadap orang yang diruqyahnya, ungkapan ini disandarkan pada hadits Nabi sebagai berikut :

مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنِ يَنْفَعَ أَخَاهُ فَلْيَفْعَلْ.

Artinya : “Barang siapa di antara kalian yang dapat menolong saudaranya, maka lakukanlah”. (Al-Hadits).

Jadi dapat penulis ambil kesimpulan dari beberapa keterangan diatas bahwa orang yang tidak meminta kepada orang lain untuk meruqyahnya, hal ini merupakan tawakal yang sempurna. Dan untuk itu, barang siapa yang hendak meruqyah saudaranya, hendaklah ia tahan (tidak membiarkan) hal itu terjadi dengan maksud untuk menyempurnakan ketawakalan saudaranya itu kepada Allah Swt.

Permasalahannya sekarang adalah jika ada seseorang yang meminta kepadamu untuk meruqyahmu maka apakah engkau kehilangan kesempurnaan karena engkau tidak mencegahnya ?. Maka jawabannya :”Tidak”, karena Nabi saw juga tidak menolak Aisyah tatkala ia meruqyah dirinya, padahal beliau adalah manusia yang paling sempurna dalam hal bertawakal kepada Allah Swt. Begitu juga dengan datangnya Jibril a.s. yang meruqyah Nabi yang pada saat itu Nabi tidak menolaknya. Kenapa ?, berarti hal ini menunjukkan bahwa hal tersebut tidak menafikan tawakal mereka berdua, sebab mereka tidak melakukan hal itu, kecuali untuk di syari’atkan dan sebagai penjelasan bahwa hal itu boleh dilakukan.

Kesimpulannya, meruqyah dengan mengunakan sesuatu yang bersumber dari kitab Allah dan Sunnah Rasulullah tidaklah bertentangan dengan tawakal sebab Allah Swt telah menjadikan ruqyah ini sebagai penyebab untuk menolak hal-hal yang tidak diinginkan, dan hal ini telah Allah ungkapkan dan jelaskan melalui sabda Rasul-Nya sebagaimana yang telah tersebut pada bagian terdahulu.

Adapun Rasulullah saw tatkala ditanya oleh sahabatnya tentang kebenaran sikap tawakal kepada Allah Swt antara mengikat dan membiarkan begitu saja terhadap hewan tunggangannya tatkala ada suatu hajat. yang kurang lebihnya pertanyaan sahabat pada saat itu adalah : “Ya Rasulullah, apakah saya harus mengikatnya kemudian bertawakal, atau saya lepaskan begitu saja dan saya bertawakal ?”. Maka Rasulullah menjawab : “Ikat dia dan bertawakalah pada Allah”. Hal ini menunjukkan bahwa makna tawakal yang sebenarnya adalah berusaha semaksimal mungkin dalam menghadapi pemecahan sebuah masalah yang kemudian setelah kita berusaha, barulah kita serahkan sepenuhnya kepada Allah Swt sebagai Rabb Yang Maha Menentukan akhir segala perkara.

Ada sebuah ungkapan yang sangat bagus sekali yang diungkapkan oleh Fadhilah Syaikh Sulaiman bin Abdillah bin As-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab, ia mengemukakan tentang penyebab-penyebab yang di syari’atkan dan yang dilarang yang pada intinya “Setiap sebab yang diharamkan oleh Allah Swt, maka hukum memakainya adalah bathil dan akan sangat berbahaya bagi pemakainya, karena itu janganlah mencoba untuk menggunakannya”. (Muhiburrahman, 2004 : 51).

Seorang Mukmin apabila ia sudah mengakui bahwa Allah Swt adalah Tuhan-Nya sekalian makhluk, Pencipta serta yang memiliki segala-galanya, maka ia tidak akan mengingkari bahwa sesungguhnya Allah Swt yang telah menjadikan penyebab-penyebab itu. Sebagai contoh, Allah Swt telah menjadikan hujan sebagai sebab tumbuhnya berbagai macam jenis tumbuh-tumbuhan. Dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 164 Allah menceritakan sebagai berikut :

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ ( البقرة :164 ).

Artinya : Sesungguhnya dalampenciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia menghidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Ia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi ; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan. (Majma Al Malik, 1418 H : 40).

Allah Swt juga menjadikan matahari dan bulan sebagai sebab dari apa-apa yang Dia ciptakan dengan keduanya, maka pengertian diatas sama halnya juga dengan menjadikan do’a sebagai sebab terjadinya sesuatu yang diinginkan atau yang tidak diinginkan oleh seorang yang berdo’a. Sabda Rasulullah Saw :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه, عَنِ النَّبِيِّ ص قَالَ : مَا أَنْزَلَ اللهُ دَاءً إِلاَّ أنْزَلَ لَهُ شِفَاءً.( رواه البخارى : 5678).

Artinya : “Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw pernah bersabda : « Allah tidaklah menurunkan suatu penyakit melainkan Dia juga menurunkan obatnya ». (Zaidun, 2002 : 962).

Hadits diatas seolah-olah memberikan gambaran bahwa suatu penawar hanyalah dapat diketahui oleh orang-orang yang memang ia mengetahuinya dan memberikan gambaran pula bahwa penawar obat itu tidak diketahui oleh orang-orang yang memang tidak mengetahuinya. Dalam hadits lain Rasul bersabda :

... فَإِنَّ اللهَ عَزَّ وَ جَلَّ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلاَّ وَضَعَ لَهُ شِفَاعًا, غَيْرُ دَاءٍ وَاحِدٍ قَالُوْا : مَا هُوَ ؟ قَالَ : اَلْهَرَمُ. ( رواه أحمد ).

Artinya : “Sesungguhnya Allah Swt tidaklah menaruh suatu penyakit kecuali menempatkannya juga (baginya) penyembuhan (obat), kecuali satu penyakit saja. ‘Mereka bertanya, ‘Penyakit apakah itu wahai Rasulullah ?’. Beliau menjawab, ‘Yaitu penyakit ketuaan !”.(Muhiburrahman, 2004 : 35).

Kandungan hadits ini mencakup semua jenis penyakit, baik itu penyakit hati, penyakit jiwa, dan penyakit badan serta obat-obatnya. Contohnya : tatkala Rasulullah saw didatangi oleh beberapa pemuka kaum yang mengadukan perihal penyakit gangguan pencernaan dan penyakit perut yang menimpa mereka, beliau memerintahkan mereka untuk meminum air kencing onta dan susunya. Begitu juga Allah Swt telah menjadikan kebodohan sebagai penyakit, maka sebagai penawar dari kebodohan ini Allah Swt memerintahkan manusia untuk bertanya kepada ahlinya, hal ini termaktub dalam Q.S. Surat An-Nahl ayat 43 :

... فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ ( ألنّحل :43 ).

Artinya : “…maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”. (Majma Al Malik, 1418 H : 408).

Jadi hukum sebab akibat itu memang benar adanya, tidak bisa kita pungkiri, dan tidak bisa pula dibiarkan begitu saja tanpa ikhtiar. Sebagai gambaran kecil saja api yang merupakan sebab terjadinya kebakaran, pisau yang merupakan sebab terpotong, memakan makanan merupakan sebab hilangnya rasa lapar, minum merupakan sebab hilangnya rasa haus, bersungguh-sungguh merupakan sebab kepintaran, taat kepada Allah merupakan sebab mendapatkan keridlaan dan rahmat-Nya serta berbuat maksiat merupakan sebab mendapatkan kebencian dan siksa dari-Nya. Jadi barang siapa yang memungkirinya menandakan bahwa akalnya kurang, dan barang siapa yang membaiarkannya begitu saja tanpa usaha, maka hal itu merupakan perbuatan syirik.

Tidak ada alasan bagi seseorang untuk meninggalkan penyebab-penyebab itu, sehingga tidak bisa dikatakan bertawakal orang yang sengaja membuka pintu untuk pencuri. Sama halnya juga, tidak bisa dikatakan bertawakal bagi orang yang mengatakan “Saya bertawakal, saya tidak butuh makanan, minuman dan sebagainya”.

Jadi, setiap suatu penyebab yang dijadikan sebagai perantara dan wasilah untuk mendapat suatu kebaikan yang diinginkan atau mencegah suatu keburukan yang di khawatirkan, siapa pun tak akan kuasa melakukannya kecuali hanya Allah Swt semata. Maka sesungguhnya penyebab itu terbantah oleh ayat-ayat Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah saw terkecuali beberapa sebab yang memang ada sumbernya dari Allah dan Rasul-Nya.

Adapun mengenai lafadz “Wa la yastarqun” dalam redaksi hadits terdahulu mengandung tiga tingkatan yang berkaitan dengan permasalahan ruqyah ini :

1. Seseorang meminta orang lain untuk meruqyahnya. Orang semacam ini kehilangan kesempurnaan.

2. Seseorang tidak menolak orang lain yang meruqyahnya. Orang semacam ini tidak kehilangan kesempurnaan, karena dia tidak meminta untuk diruqyah.

3. Seseorang yang menolak orang yang hendak meruqyahnya. Orang semacam ini bertentangan dengan As-Sunnah, karena Nabi saw tidak menolak Aisyah ketika dia hendak meruqyah beliau. Begitu pula yang dilakukan para sahabat, mereka tidak menolak seseorang yang hendak meruqyah mereka, karena hal ini tidak mengurangi tawakal kepada Allah Swt. (Suhardi, 2003 : 80 ). Wallahu a’lam bish shawab.

B. Ruqyah Adalah Tauqifiyah

Secara bahasa kata tauqifiyah adalah bentuk taf’il dari kata waqf yang artinya pelarangan dan pengungkungan. Imbuhan ya disini berfungsi menisbatkan, begitu juga dengan huruf taa. Jadi kata tauqifiyah ini merupakan bentuk mashdar shina’I yang dalam terminologi syari’at Islam, kata ini mempunyai pengertian bahwa Rasulullah saw telah menjelaskan semua rincian tentang muatan aqidah Islam. Beliau tidak membiarkan satu bagian pun terlepas dari penjelasan. Pengertian ini merupakan sebuah konsekwensi penyempurnaan agama yang termaktub dalam firman Allah Swt surat Al-Maidah ayat 3 yakni :

... الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا (المائدة : 3)

Artinya : ”Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”. (Majma Al Malik, 1418 H : 157).

Begitu juga dengan sabda Rasulullah saw :

تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ مَا إِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا لَنْ تَضِلُّوْا بَعْدِى أَبَدًا كِتَابَ اللهِ وَسُنَّتِى.

“Telah kutinggalkan bagi kamu dua perkara yang jika kamu berpegang teguh kepadanya kamu tidak akan tersesat sesudahku selamanya. Yaitu Kitab Allah dan Sunnahku”. (Matta, T.T :52).

Dengan kata lain tauqifiyah adalah sesuatu yang sudah diatur cara dan pelaksaannya sehingga tidak boleh bagi siapa saja untuk melakukannya, kecuali jika ada dasarnya dari Kitab dan Sunnah-sunnah rasul-Nya.

Dalam kaitannya dengan ruqyah, jelas tidak diragukan lagi bahwa Rasulullah saw telah banyak mengajarkan kepada umatnya tentang ruqyah yang bisa memberi manfaat yang tentunya bersumber dari Al-Qur’an dan do’a-do’a lainnya. Rasulullah saw juga mengajarkan kepada mereka mulai dari persiapan-persiapan, cara-cara dan sifat-sifat dalam meruqyah serta sifat-sifat yang wajib dimiliki bagi mereka yang hendak meruqyah, kemudian juga waktu yang tepat untuk melakukan ruqyah.

Kalau memang demikian keadaannya, yakni kesemuanya telah dijelaskan oleh Rasulullah saw, maka bagi siapa saja tidak boleh menambahkan atau bahkan mengurangi dari apa-apa yang telah beliau tetapkan, dan tidak boleh juga melakukan ruqyah tersebut pada waktu yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah. Jadi, setiap apa yang disebutkan dan dicontohkan oleh Rasulullah saw seperti misalnya : Rasulullah saw membaca do’a dan dzikir-dzikir ruqyah itu sebanyak tujuh kali, maka tidak boleh bagi kita untuk menambahkannya menjadi tiga belas karena hal ini telah melebihi batas yang telah beliau tetapkan.

Begitu juga setiap apa yang Rasulullah saw ucapkan seperti do’a-do’a yang beliau baca pada malam hari atau do’a-do’a yang Rasulullah baca apabila beliau hendak beranjak ke atas tempat tidur, maka sebagai konsekwensi dari hal yang bersifat tauqifiyah tersebut adalah terlarangnya bagi kita untuk mengubahnya dengan menambah-nambahinya ataupun mengurang-ngurangi ketentuan tersebut. Sebagai contoh misalkan dengan membacanya pada waktu dzuhur atau ashar. Maka penambahan atau pengurangan terhadap ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan Rasulullah saw dalam hal ini adalah termasuk tuduhan terhadap Rasulullah saw atau dengan kata lain telah mengada-ngada sesuatu yang sebenarnya tidak Rasulullah contohkan.

Adapun kalau seandainya seseorang mencoba menggunakan salah satu ruqyah yang pada hakikatnya ruqyah tersebut sama sekali tidak bersumber dari Rasulullah saw kemudian ternyata bisa terasa dan jelas sekali manfaat yang dapat diambil dari ruqyah tersebut, serta di dalamnya tidak terdapat sesuatu yang menyimpang dari penyimpangan-penyimpangan yang ditetapkan syari’at sebagaimana yang telah dijelaskan pada pembahasan terdahulu pada Bab Ketentuan-ketentuan Ruqyah, maka dalam pembahasan ini, hukum memakainya adalah boleh dikarenakan padanya terdapat beberapa sebab, antara lain :

Pertama, berobat dengan menggunakan ruqyah sama seperti berobat dengan menggunakan obat-obatan yang biasa digunakan yang tersiri dari rumput-rumputan dan yang lainnya. Karena memang hal ini merupakan hasil uji coba yang dilakukan berdasarkan pengalaman sehari-hari yang dapat memberikan manfaat kepada sesama manusia.

Kedua, ada beberapa hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw mengakui bahwa diantara para sahabat ada yang mempelajari tentang ruqyah ini dari orang lain. Tatkala beliau mengetaui bahwa dalam ruqyah tersebut tidak mengandung unsur kesyirikan, maka beliau pun membolehkannya. Sabda Rasulullah saw dalam salah satu haditsnya. :

كُنَّا نُرْقِى فِى الْجَاهِلِيَّةِ فَقُلْنَا يَل رَسُوْلَ اللهِ كَيْفَ تَرَى فِى ذَالِكَ فَقَالَ أَعْرِضُوْا عَلىَ رُقَاكُمْ لاَ بَأْسَ بِالرُّقَى مَالَمْ يَكُنْ بِهِ شِرْكٌ.

“Kami biasa meruqyah ketika zaman Jahiliyyah, lalu kami bertanya, ‘Wahai Rasulullah bagaimana pendapat anda tentang ruqyah kami ini ?’. beliau lalu menjawab :’Perlihatkan kepadaku ruqyah kalian, tidak mengapa dengan ruqyah selama tidak ada kesyirikan di dalamnya”.(Muhiburrahman, 2004:82)

Hadits ini menunjukkan bolehnya meruqyah menggunakan sesuatu yang didapatkan dari hasil percobaan yakni selama ruqyah itu tidak mengandung unsur kesyirikan sebab Rasulullah saw tidak menanyakan kepada Auf bin Malik dari mana ia belajar (mempelajari) ruqyah tersebut. Sebagaimana beliau juga tidak mengucapkan “Tidak boleh bagi kalian untuk mengambil ruqyah kecuali dengan apa-apa yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah”. Dan kalaulah seandainya mempelajari ruqyah ini tidak boleh kecuali dengan kalam Allah Swt, pastinya Rasulullah saw tidak meminta kepada mereka untuk memperlihatkan ruqyah yang biasa mereka gunakan sewaktu zaman Jahiliyyah dahulu.

Jadi sebenarnya memang ada ruqyah yang manjur, yang diperoleh dari hasil uji coba terhadap penyakit namlah yang mana penyakit namlah tersebut sudah dikenal sejak zaman Jahiliyyah dahulu yakni sebelum datangnya agama Islam namun kemudian setelah Islam datang disana dan Rasulullah tidak melihat adanya unsur kesyirikan di dalamnya, maka Rasulullah pun membolehkan untuk menggunakan ruqyah tersebut sebagai pengobatan.

Selain itu juga, hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahih-nya yang mengatakan “Bahwa Rasulullah saw memberikan keringanan untuk meruqyah dari penyakit demam, sengatan binatang berbisa dan dari penyakit ‘ain”. Hadist ini menunjukkan bahwa yang lebih selamat bagi kita terhadap ruqyah ini adalah meninggalkannya, kecuali ruqyah yang memang ada dasarnya dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw. Wallahu a’lam bish shawab.

C. Ruqyah Sebagai Obat Bagi Setiap Penyakit

Ternyata ruqyah bukan hanya khusus untuk penyakit ‘ain dan penyakit demam saja, sebagaimana Nabi telah bersabda tentang hal itu dalam sebuah haditsnya :

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص : لاَرُقِيَّةَ إِلاَّ مِنْ عَيْنٍ أَوْ حُمَّةٍ. (رواه أبوداود).

“Tidak ada ruqyah kecuali pada penyakit mata dan penyakit demam”. (Al Munawar dan Umar, 1994 : 91).

Pada hadits ini Nabi Muhammad saw tidak bermaksud meniadakan ruqyah (melarang ruqyah) selain untuk penyakit mata dan demam. Akan tetapi maksud Nabi saw adalah “Tidak ada ruqyah yang lebih utama dan lebih bermanfaat dari pada ruqyah pada penyakit mata dan penyakit demam”. Pengertian ini dapat kita ketahui dari bentuk kalimat dalam hadits berikut :

إِنَّ سَهْلَ بْنِ حُنَيْفٍ قَالَ لَهُ لَمَا اَصَابَتْهُ الْعَيْنُ : أَوَ فِى الرُّقِيِّ خَيْرٌ ؟ فَقَالَ : لاَرُقِيَّةَ إِلاَّ فِى عَيْنٍ أَوْ حُمَّةٍ.

“Sesungguhnya Sahl bin Umar berkata kepada Nabi saw tatkala ia sedang menderita penyakit mata, ‘Apakah pengobatan dengan ruqiyyah itu lebih baik ?’. Maka Nabi saw menjawab : ‘Tidak ada ruqiyyyah (maksudnya yang lebih utama dan lebih bermanfaat) kecuali pada penyakit mata atau penyakit demam”. (Al Munawar dan Umar, 1994 : 42).

Hadits lainpun banyak yang menunjukkan bahwa pengobatan dengan menggunakan ruqyah tidak terbatas hanya pada penyakit mata dan demam saja, seperti hadits dibawah ini :

عَنْ اَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: لاَ رُقِيَّةَ إِلاَّ مِنْ عَيْنٍ أَوْ حُمَّةٍ أَوْ دَمٍ لاَيَرْقَأُ.

(رواه أبوداود).

“Dari Anas bin Malik, ia berkata : Rasulullah saw bersabda : ‘Tidak ada ruqyah kecuali pada penyakit mata atau demam atau darah yang tidak mendidih (darah membeku)”. (Al Munawar dan Umar, 1994 : 42).

عَنْ اَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: رَخَّصَ رَسُوْلُ اللهِ ص فِى الرُّقِيَّةِ مِنَ الْعَيْنِ وَالْحُمَّةِ وَالنَّمْلَةِ. (رواه ابوداود).

“Dari Anas bin Malik, ia berkata : Rasulullah saw membolehkan ruqyah bagi penyakit mata, demam dan kebas (rasa kesemutan)”. (Al Munawar dan Umar , 1994 : 42).

Dan dalam hadits yang lain disebutkan pula :

عَنْ اَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ رض عَنْهُ قَالَ: أَذِنَ رَسُوْلُ اللهِ ص لأَهْلِ بَيْتٍ مِنَ الأَنْصَارِ أَنْ يَرْقُوْا مِنَ الْحُمَّةِ وَالأُذُنِ. (رواه البخارى).

“Dari Anas bin Malik, ia berkata: ‘Rasulullah saw memperbolehkan suatu keluarga kaum Anshar melakukan penyembuhan dengan cara ruqyah / mantra (dengan Asma Allah) untuk menyembuhkan orang yang keracunan dan sakit telinga”. (Zaidun, 2002 : 966).

Beberapa hadits diatas menunjukkan adanya penolakan terhadap pembatasan dalam penggunaan ruqyah, seperti disebutkan dalam suatu hadits bahwa ruqyah digunakan untuk mengobati penyakit mata dan penyakit demam, di hadits yang lain disebutkan untuk mengobati dari sengatan binatang berbisa, dan di hadits yang lainnya lagi disebutkan untuk mebobati darah yang membeku dan untuk mengobatai penyakit telinga.

Namun bisa jadi hal ini menunjukkan bahwa rukhshah yang diberikan ini ada setelah adanya pelarangan dan bisa juga maksud Rasulullah saw bersabda seperti itu adalah ingin menjelaskan bahwa tidak ada ruqyah yang lebih baik dan yang lebih bermanfaat kecuali yang digunakan untuk mengobati penyakit mata dan penyakit demam dan bukan bermaksud meniadakan penggunaan ruqyah selain dari kedua penyakit itu.

Menurut hemat penulis dengan melihat dari beberapa keterangan hadits diatas seolah-olah hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya tidak ada pembatasan mengenai penggunaan ruqyah ini sebagaimana yang akan penulis ketengahkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitabnya sebagai berikut :

عَنْ أَبِى سَعِيْدٍ الخُدْرِيِّ قَالَ: أَنَّ جِبْرِيْلَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ أَتَى النَّبِيَّ ص فَقَالَ: يَا مُحَمَّدٌ أَشْتَكَيْتَ ؟ قَالَ: نَعَمْ. فَقَالَ جِبْرِيْلُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ بِاسْمِ اللهِ أَرْقِيْكَ مِنْ كُلِّ دَاءٍ يُؤْذِيْكَ وَمِنْ شَرِّ كُلِّ نَفْسٍ أَوْ عَيْنٍ حَاسِدِ اللهُ يَشْفِيْكَ بِاسْمِ اللهِ أَرْقِيْكَ. (رواه مسلم).

Dari Abi Sa’id Al-Khudri r.a., ia berkata : Bahwasanya Jibril a.s. datang kepada Nabi saw lalu berkata :’Ya Muhammad ! sakitkah engkau ?’. Nabi menjawab :’Ya’. Maka Jibril a.s. berkata : ‘Dengan nama Allah aku mohonkan ruqiyyah untukmu dari setiap penyakit yang menimpamu dan juga dari setiap jiwa maupun mata orang yang dengki, Allah akan menyembuhkan engkau. Dengan nama Allah, aku akan melakukan ruqiyyah untukmu. (Al Munawar dan Umar, 1994 : 41).

Kalau kita perhatikan perkataan Malaikat Jibril tadi yakni ‘dari setiap penyakit yang mengganggumu’, hal ini menunjukkan pada keumuman penyakit apa saja, sebagaimana dalam riwayat Aisyah disebutkan sebagai berikut :

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ص إِذَا اشْتَكَى مِنَّا إِنْسَانٌ مَسَحَهُ بِيَمِيْنِهِ ثُمَّ قَالَ: أَذْهِبِ الْبَأْسَ رَبَّ النَّاسِ وَإِشْفِ أَنْتَ الشَّافِى لاَ شِفَاءَ إِلاَّ شِفَاؤُكَ شِفَاءٌ لاَ يُغَادِرُ سَقَمًا.

Dahulu Rasulullah saw apabila salah seorang di antara kami (isteri-isterinya) sakit, maka beliau mengusap tubuh kami dengan tangan kanan beliau kemudian beliau membaca: ‘Hilangkanlah kesusahan wahai Rabb-Nya manusia, dan sembuhkanlah. Sesungguhnya Engkau adalah Dzat Yang Maha Menyembuhkan, tidak ada penyembuhan kecuali penyembuhan dari-Mu, penyembuhan yang tidak meninggalkan rasa sakit’. (Muhiburrahman, 2004:90).

Hadits ini juga menunjukkan keumuman penyakit yang dapat disembuhkan dengan menggunakan ruqyah, sebab dalam hadits tersebut tidak disebutkan dengan jelas jenis penyakitnya, dan hal itulah yang menunjukkan atas keumumannya. Di antara hadits-hadits lain yang menjelaskan bahwa ruqyah itu bukan hanya untuk penyakit ‘ain dan demam saja adalah sebagai berikut :

عَنْ عُثْمَانَ ابْنِ أَبِى الْعَاصِ الثَّقَفِيْ رض عَنْهُ أَنَّهُ شَكَا إِلَى رَسُوْلِ اللهِ ص وَجَعًا يَجِدُهُ فِى جَسَدِهِ مُنْذُ أَسْلَمَ فَقَالَ لَهُ رَسُوْلُ اللهِ ص ضَعْ يَدَكَ عَلىَ الَّذِي تَأَلَّمَ مِنْ جَسَدِكَ وَقُلْ بِسْمِ اللهِ ثَلاَثًا وَقُلْ أَعُوْذُ بِاللهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَادِرُ.

Dari Utsman bin Abi Al-Ash Ats-Tsaqafi r.a., bahwa suatu hari ia mengadi kepada Rasulullah saw karena suatu penyakit yang dideritanya semenjak ia masuk Islam. Maka Rasulullah saw berkata kepadanya: ‘Letakkan tanganmu di atas bagian tubuhmu yang sakit, kemudian bacalah bismillahir rahmaanir rahiim sebanyak tiga kali lalu dilanjutkan dengan membaca ; aku berlindung kepada Allah dan kepada kekuasaan-Nya dari kejelekan yang menimpaku dan yang aku khawatirkan. (Muhiburrahman, 2004 : 91).

Mengingat pembahasan terdahulu yang menjelaskan tentang jenis-jenis ruqyah yang pada intinya terbagi dua, yakni ada yang digunakan untuk menghilangkan petaka setelah terjadi, dan ada juga yang digunakan untuk mencegah petaka sebelum terjadi. Hal ini juga menunjukkan bahwa ruqyah itu tidaklah khusus hanya untuk mengobati penyakit saja. Kalau kita cermati hadits yang menjelaskan tentang seorang wanita ayan yang datang kepada Rasulullah saw yang pada saat itu Nabi memberikan dua pilihan kepadanya. Yang pertama, di do’akan dan ia akan mendapatkan kesembuhan, atau yang kedua, yakni bersabar terhadap penyakt tersebut yang jaminan baginya adalah surga di akhirat kelak. Dalam kandungan hadits ini juga kita dapat mengetahui bahwa berdo’a dan bersandar sepenuhnya kepada Allah Swt merupakan obat yang sangat manjur dan sangat bermanfaat bahkan lebih lebih bermanfaat dan lebih manjur dari pada berobat dengan menggunakan obat-obat yang lainnya. Selain itu juga kita dapat mengetahui bahwa akibat yang ditimbulkan oleh do’a reaksinya terhadap badan lebih besar daripada menggunakan obat-obatan biasa.

Namun tetap pada hakikatnya berobat dengan menggunakan ruqyah ini akan berkhasiat apabila terpenuhi syarat-syaratnya. Yang pertama adalah dari sisi orang yang berobat hendaknya ia mempunyai tujuan untuk benar-benar sembuh dan meyakini bahwa pada hakikatnya yang dapat menyembuhkan penyakitnya tersebut hanyalah Allah semata bukan pada apa yang ia baca atau apa yang ia gunakan apalagi kalau sampai ia menggantungkan dirinya dan meyakini kepada kekuatan ruqyah tersebut. Syarat yang kedua adalah dari sisi orang yang mengobati (meruqyah) hendaklah ia yang mempunyai derajat keshalehan dan ketaqwaan yang tinggi terhadap Allah Swt, memiliki kekuatan serta kesabarannya dalam menghadapi penyakit yang dihadapi serta kekuatan taqwa dan sikap tawakalnya terhadap Dzat Yang Maha Menyembuhkan segala penyakit. Wallahu a’lam bish shawab.

D. Hukum Menghkususkan Diri Menjadi Peruqyah

Pada zaman sekarang ini, kita sering mendengar bahwa sebagian para penuntut ilmu, khususnya para penuntut ilmu di bidang agama banyak yang terkenal bisa mengobati penyakit dengan menggunakan ruqyah. Ketenaran ini mencapai puncaknya dimana kita bisa dengan mudah menjumpai sarana-sarana ruqyah tersebut di tengah-tengah masyarakat.

Dengan banyaknya imbalan yang mereka dapatkan dari hasil meruqyah ini, mereka rela melepaskan kesibukan-kesibukan mereka dengan cara mengkhususkan diri menjadi seorang peruqyah, bahkan mereka pun memperluas jam terbang mereka dengan dalih agar selalu siap jika ada orang yang datang untuk berobat kepada mereka. Sehingga dengan begitu mereka sibuk mengatur jam-jam berobat layaknya bak seorang dokter yang bekerja di rumah sakit-rumah sakit spesialis.

Permasalahan yang akan coba penulis angkat dari peristiwa diatas adalah bagaimana hukum berbicara tentang peristiwa diatas tersebut ?!, yang mana peristiwa tersebut sama sekali tidak ada contohnya dari zaman para salafus shalih terdahulu !!.

Untuk menjawab pertanyaan diatas, penulis berkomentar Allahu a’lam artinya Allahlah yang lebih Mengetahui tentang hal ini. Kenapa demikian ?, sebab telah diketahui bersama bahwa Allah Swt telah membolehkan ruqyah sebagaimana yang telah dijelaskan dalam bab perintah ruqyah dan ketentuan-ketentuannya yang benar secara syar’i, bahkan dibolehkan juga mengambil upah dari hasil ruqyahnya sebagaimana telah dijelaskan oleh Rasulullah saw dalam sebuah haditsnya sebagaimana yang telah diuraikan pada pembahasan terdahulu, namun secara ringkasnya penulis tulis kembali sebagai berikut :

Yaitu, tatkala sekelompok shahabat Rasulullah saw melewati sebuah sumber air yang di dekatnya ada sekelompok orang. Salah seorang dari kelompok itu digigit binatang berbisa. Maka salah seorang dari rombongan itu menemui rombongan para shahabat, lalu bertanya, ‘Adakah di antara kalian yang bisa meruqyah ?, salah seorang teman kami terkena gigitan binatang berbisa’. Maka berangkatlah salah seorang shahabat Nabi saw kemudian shahabat tadi membacakan surat Al-Fatihah dengan perjanjian apabila ia sembuh, ia dibayar dengan seekor kambing. Setelah dibacakan, orang itupun sembuh, lalu ia memberikan seekor kambing sesuai dengan perjanjian mereka sebelumnya.

Ketika shahabat tadi kembali ke rombongannya dengan membawa seekor kambing, rombongannya tidak mau menerima kambing itu dan berkata : ‘Engkau telah mengambil upah dari kitab Allah’. Ketika mereka sampai di kota Madinah, mereka pun melaporkan kejadian tersebut kepada Rasulullah saw. Mereka berkata : ‘Hai Rasulullah, bolehkan kita mengambil upah dari kitab Allah ?’. Rasulullah saw lalu menjawab : ‘Sebaik-baik upah yang kalian ambil adalah upah dari kitab Allah’. (Muhiburrahman, 2004 : 116).

Apabila sudah diketahui bahwa ruqyah dan mengambil upah hasil meruqyah hukumnya boleh, maka pembahasan ini jelas akan menjadi lebih terbatas pada cara-cara yang dilakukan peruqyah, khususnya bagi para peruqyah di zaman kita sekarang ini yang mana jika kita perhatikan, kecenderungan para peruqyah di zaman kita ini, kebanyakan mereka cenderung mengkhususkan diri untuk meruqyah dan menjadikannya sebagai pekerjaan tetap. Sehingga dengan demikian hal itu akan membuatnya menjadi terkenal di kalangan masyarakat, khususnya di kalangan masyarakat awam.

Mengenai hal ini, penulis berpandangan bahwa dengan cara seperti itu justru bisa mendatangkan banyak kemadharatan, baik itu madharat bagi peruqyah itu sendiri ataupun bagi mereka yang diruqyah. Di antara kemadharatannya itu antara lain :

1. Dengan banyaknya para pengunjung yang datang untuk berobat kepada peruqyah, hal ini bisa menimbulkan kesalahpahaman terhadap orang awam. Mereka menyangka hanya dengan melihat banyaknya pengunjung yang datang kepada si tukang ruqyah itu dan mereka pun mengira bahwa peuqyah tersebut mempunyai kekhususan yang tidak dimiliki oleh orang lain, sehingga dengan demikian mereka lebih mementingkan peruqyah daripada bacaan yang dibacanya. Padahal dalam hal ruqyah ini, yang memberi manfaat sebenarnya adalah apa yang dibaca, sedangkan peruqyah itu sendiri hanya mengikuti saja dari apa yang ia baca.

2. Jika kita lihat sejarah hidup Rasulullah saw, sejarah para shahabatnya serta sejarah para ulama kaum Muslimin yang tentunya tidak diragukan lagi tentang kelebihan dan keimanan mereka, maka kita tidak akan pernah mendengar cerita atau menemukan seorang pun di antara mereka yang meninggalkan pekerjaan-pekerjaan mereka hanya untuk mengkhususkan diri menjadi seorang peruqyah, dalam pengertian mereka menjadikan ruqyah sebagai mata pencaharian hidup mereka. Adapun yang dapat kita temukan pada zaman dahulu adalah manakala seseorang terkena penyakit, justru merekalah yang meruqyah diri-diri mereka sendiri dengan menggunakan Kitab Allah sebagai alat dan cara penyembuhan mereka terhadap penyakit yang dideritanya. Kalaupun tidak begitu, mereka datang kepada seseorang yang dianggap mempunyai pengetahuan yang tinggi dan berperangai shaleh, kemudian mereka minta untuk diruqyah olehnya. Hal semacam ini tentu tidak ada salahnya karena memang hal ini pernah terjadi pada zaman Rasulullah saw. Jadi kalaulah seandainya mengkhususkan diri menjadi tukang ruqyah dan menjadikannya sebagai mata pencaharian hidup adalah merupakan sebuah kebaikan, menurut logika tentu para shahabat terdahulu akan lebih awal melakukannya dari pada kita dan tentu akan banyak sekali kita dapatkan jejak-jejak mereka yang telah mencontohkannya. Namun pada kenyataannya tak terceritakan dalam sejarah ada shahabat yang mengkhususkan dirinya menjadi seorang peruqyah. Hal ini jelas menjadi barang bukti sekaligus menunjukkan bahwa mengkhususkan diri menjadi seorang tukang ruqyah sebagaimana yang sering dan banyak kita saksikan pada zaman sekarang ini adalah tidak ada contohnya dari para shahabat dan generasi-generasi setelahnya.

3. Justru disini peluang bagi sang syetan la’natullah untuk mempopulerkan dirinya dengan cara tatkala si syetan ini melihat adanya rasa ketergantungan yang kuat antara seseorang dengan tukang ruqyah yang sudah menolongnya, maka trik syetan selanjutnya ia akan berpura-pura takut kepada peruqyah itu dan mengatakan bahwa dirinya akan keluar dari tubuh orang yang dirasukinya tadi dengan tujuan untuk menambahkan kepercayaan atau keyakinan kepada orang-orang bahwa peruqyahlah yang seolah-olah mempunyai kekuatan, sehingga mereka menghilangkan kepercayaan terhadap apa yang dibaca oleh tukang ruqyah tersebut. Dan disamping itu juga syetan mempunyai visi dan misi agar orang-orang awam menganggap serta berkeyakinan bahwa ruqyah tersebut mempunyai keanehan di dalamnya.

4. Bisa jadi timbul dari diri si peruqyah itu rasa tinggi hati dalam dirinya, ia merasa bahwa dirinya adalah salah seorang waliyullah yang berbakti kepada Allah Swt atau yang merasa dirinya mempunyai kekuatan yang maha dahsyat atau merasa yang lain-lainnya yang kesemua rasa ini timbul diakibatkan dari banyaknya orang yang meminta diruqyah kepadanya. Begitu juga dari banyaknya penyakit yang sudah disembuhkan oleh Allah Swt melalui ruqyahnya, juga dari melihat bagaimana syetan takut kepadanya dan langsung keluar dari tubuh orang yang sempat dirasukinya. Berkaitan dengan hal ini Ibnu Uyainah pernah berkata : ‘Umar bin Khathab r.a melihat sekelompok orang bersama bapakku. Maka Umar pun memukuli bapakku dengan menggunakan cambuknya. Kemudian bapakku berkata : ‘Aku tahu apa yang engkau perbuat’, kemudian Umar berkata : ‘Tidakkah engkau mengerti bahwa hal ini bisa mendatangkan fitnah bagi orang yang diikuti dan mendatangkan kehinaan bagi orang yang mengikuti’. (Muhiburrahman, 2004 : 124). Umar bin Khathab khawatir terhadap bapaknya ibnu Uyainah karena begitu banyak pengikut dan murid-muridnya. Beliau khawatir murid-muridnya itu mencium kaki bapaknya ibnu Uyainah sebagai penghormatan mereka terhadapnya. Demikianlah sikap Umar bin Khathab yang merasa khawatir akan timbulnya kultus individu antar personal serta satu tauladan yang mesti kita tiru dari diri Umar ini adalah kesigapannya untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Maka sudah sepantasnyalah bagi kita bersikap sama seperti halnya sikap Umar bin Khathab r.a. dalam kaitannya dengan ruqyah ini yang lebih khususnya lagi terhadap diri si peruqyah itu sendiri.

5. Satu hal penting yang mesti kita kritik dan kita luruskan adalah cara mereka (tukang ruqyah) dalam mengumpulkan dan mengobati orang-orang yang datang untuk berobat kepadanya, dimana tukang ruqyah ini membacakan kepada pasien-pasien mereka dengan cara sekaligus hanya dengan satu bacaan dengan tujuan untuk mempersingkat waktu karena begitu banyaknya orang yang datang berobat kepadanya. Yang selanjutnya dari masing-masing pasien tadi mengambil ludah peruqyah dengan bejana-bejana yang mereka bawa dan yang ironisnya lagi, mereka menganggap bahwa ludahnya itu mengandung barakah. Padahal dengan cara seperti itu bisa saja ludah dan semburan yang bercampur dengan bacaan tadi hanya mengena pada bejana yang pertama dan yang kedua saja. Yang menjadi pertanyaan, adakah dalil yang menunjukkan akan adanya praktek seperti ini pada zaman para salafus shalih terdahulu ?.

Dari beberapa keterangan diatas, sementara dapat penulis simpulkan tentang kemadharatan-kemadharatan yang ditimbulkan dari orang-orang yang mengkhususkan dirinya menjadi peruqyah. Ternyata orang-orang yang mengkhususkan dirinya untuk meruqyah dan menjadikannya sebagai pekerjaan tetap, mereka mengira bahwa hal itu boleh-boleh saja dilakukan dan mereka menganggap bahwa hukum melakukannya adalah sunnah, sedangkan sunnah termasuk salah satu hukum syar’i yang merupakan suatu ibadah. Padahal jelas perbuatan ini bisa menjerumuskan mereka kepada perbuatan bid’ah. Barang siapa yang menganggap sunnah suatu perbuatan yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah saw, khulafaur rasyidin dan generasi setelahnya, walaupun kadar kebutuhannya saat itu sangat dibutuhkan, maka bagi siapa yang melakukan hal itu berarti telah mendekati salah satu pintu-pintu bid ‘ah. Sabda Rasulullah saw :

إِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلىَ ألِهِ وَسَلَّمَ وَشَرَّ اْلاُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةُ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةُ وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِى النَّارِ.

“Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad saw dan seburuk-buruk perkara adalah perkara agama yang baru dan setiap yang baru itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan itu tempatnya di neraka”. (Abdat, 2004 : 1).

Adapun Rasulullah saw, para khulafaur rasyidin serta generasi setelahnya apabila mereka meruqyah dan mendapat imbalan dari hasil ruqyahnya itu, toh mereka tidak lantas mengkhususkan diri mereka untuk meruqyah atau menjadikannya sebagai profesi dan juga ruqyah yang mereka lakukan tidak pula menjadikan mereka terkenal di kalangan masyarakat yang apabila disebutkan nama mereka, disebut juga bahwa ia adalah seorang peruqyah dan mereka tidak menjadikan hal ini sebagai jalan pintas untuk memperoleh rezki.

Jadi sudah begitu jelas dalam masalah ini terdapat kerusakan terhadap masyarakat, terutama orang-orang awam dimana ketergantungan dan kepasrahan mereka terhadap peruqyah lebih besar daripada ketergantungan dan kepasrahan mereka kepada Allah Swt. Mereka menyangka bahwa kesembuhan itu datangnya dari peruqyah hanya karena melihat banyaknya pengunjung yang datang menemuinya, sementara hal ini merupakan suatu yang tidak pernah mereka lihat sebelumnya pada sebagian ulama-ulama shalih. Maka tidak diragukan lagi bahwa mencegah kehancuran lebih baik daripada mengharapkan kebaikan, khususnya apabila kehancuran yang diakibatkan lebih besar daripada kebaikan yang diharapkan.

Disamping itu juga, hal ini bisa mendatangkan kerusakan pada diri peruqyah itu sendiri, seperti menjadikan dirinya terkenal dan membuat dirinya merasa tinggi hati, lantas memulai ruqyah dengan cara-cara yang tidak pernah dikenal di kalangan ulama-ulama salafus shalih terdahulu seperti misalnya membacakan terhadap beratus-ratus orang secara bersamaan dengan satu bacaan lantas meniup pada bejana-bejana mereka setelah membacakan bacaan tadi, sehingga dalam tingkatan yang lebih jauhnya lagi hal ini akan menimbulkan dampak negatif, dimana dengan cara seperti itu dapat menimbulkan keraguan pada diri orang yang awam dan orang-orang yang tidak berilmu. Mereka menyangka bahwa cara ini adalah cara yang benar dalam melakukan ruqyah sehingga mereka pun pergi meminta ruqyah kepada orang lain dan melupakan sunnah Rasulullah saw dalam meruqyah, yaitu meruqyah diri sendiri dan bertawakal dengan menyerahkan diri di hadapan Allah Swt untuk memohon kesembuhan kepada-Nya. Wallahu a’lam bish shawwab.


BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian diatas jelaslah bahwa masalah ruqyah ini adalah masalah yang tidak dianggap sepele, kenapa ?. Sebab permasalahan ruqyah ini menyangkut persoalan aqidah atau tidak terlepas dari keimanan seseorang. Jika sedikit saja keluar dari garis yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw, maka hal itu sudah menyalahi syarat-syarat ruqyah itu sendiri. Namun pada pembahasan karya tulis ini penulis hanya membatasi pada empat point yang secara ringkasnya penulis simpulkan sebagai berikut :

1. Adanya hubungan antara ruqyah dengan I’tikad bisa dilihat dari tiga segi yakni :

a. Mengingat adanya ruqyah yang di dalamnya terdapat unsur permohonan suatu perlindungan kepada selain Allah, seperti dengan cara meminta perlindungan kepada jin, arwah orang-orang yang telah meninggal dunia dan sebagainya. Kesemuanya ini jelas sangat bertentangan sekali dengan prinsip-prinsip aqidah yang memurnikan dari segala sesuatu yang mengandung unsur syirik.

b. Ada sebagian orang yang bergantung sepenuhnya kepada ruqyah tersebut, mereka mengira bahwa ruqyah itulah yang dapat menyembuhkan mereka. Mereka tidak mengetahui bahwa ruqyah tersebut hanyalah sebagai penyebab yang pada hakikatnya ruqyah tersebut tidak akan bermanfaat tanpa seizin Allah Swt. Hal ini jelas merupakan suatu bentuk kesalahan dimana mereka bergantung pada penyebab, padahal jelas hal itu sangat bertentangan dengan tawakal yang merupakan intisari ibadah.

c. Di antara mereka, ada pula yang meyakini bahwa ruqyah itulah yang sebenarnya menyembuhkan penyakit yang mereka derita, mereka lupa akan adanya Dzat Yang Maha Berkehendak atas segala perkara. Jadi jelas hal ini sangat bertentangan sekali dengan aqidah yang benar yang telah ditetapkan oleh Allah Swt beserta Rasul-Nya.

2. Ruqyah ini adalah tauqifiyyah, artinya suatu perkara yang sudah diatur cara dan pelaksanaannya sehingga tidak boleh bagi siapa saja untuk melakukannya, terkecuali jika ada dasarnya dari Kitab dan Sunnah-sunnah Rasul-Nya.

3. Semua penyakit dapat disembuhkan dengan menggunakan ruqyah, hal ini tersirat dari beberapa hadits yang menerangkan tentang hal itu. Namun pada hakikatnya berobat dengan menggunakan ruqyah ini akan berkhasiat apabila terpenuhi syarat-syaratnya, yaitu :

a. Hendaknya bagi orang yang diruqyah mempunyai tujuan untuk benar-benar sembuh dan meyakini bahwa pada hakikatnya yang dapat menyembuhkan penyakitnya tersebut adalah Allah Swt semata bukan pada apa yang ia baca atau apa yang ia gunakan, apalagi kalau sampai ia menggantungkan dirinya dan meyakini kepada kekuatan ruqyah tersebut.

b. Hendaknya bagi orang yang meruqyah mempunyai derajat ketaqwaan yang tinggi di hadapan Allah Swt, memiliki sikap tawadhu, shalih, dan mempunyai ketaatan yang tinggi terhadap titah Allah Swt, serta bertawakal dengan apa yang akan diputuskan oleh Dzat Yang Maha Menyembuhkan segala penyakit.

4. Mengkhususkan diri untuk meruqyah dan menjadikannya sebagai pekerjaan tetap untuk mendapat penghasilan, hal ini tidak pernah di kenal di kalangan para shahabat-shahabat Rasulullah saw serta para salafush shalih terdahulu dan hal itu jelas dapat menyeret orang yang meruqyah dan orang yang diruqyahnya pada lembah kahancuran di dunia dan akhirat..

B. Saran-saran

Dari uraian dan keterangan yang telah penulis sampaikan dalam karya tulis ini, kiranya penulis perlu untuk menyampaikan beberapa saran yaitu sebagai berikut :

1. Pembaca diharapkan meneliti kembali sumber-sumber lain yang berkaitan dengan judul karya tulis ini sekedar untuk menjadi bahan perbandingan.

2. Penulis mengharapkan agar apa yang telah diuraikan dapat dijadikan bahan penambah ilmu dan wawasan keislaman.

3. Penulis sangat menantikan dan mengharapkan tegur sapa pembaca, baik itu berupa kritik ataupun saran sebagai bahan perbaikan bagi penulis, khususnya dalam penyusunan karya tulis ini. Karena penulis sadar bahwa manusia mahallul khoto’ wan nisyaan (Tempatnya salah dan lupa).


DAFTAR PUSTAKA

Abdat, Abdul Hakim bin Amir. 2004. Alam Jin Menurut Al-Qur’an dan As-

Sunnah, bantahan terhadap buku ; Dialog dengan Jin Muslim, Daarul

Qolam, Jakarta.

Ali, Atabik. Muhdlor, Ahmad Zuhdi. 1996. Kamus Kontemporer Arab-Indonesia,

Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta.

Al-Munawar, Agil Husin dan Umar, Rahman. 1994. Sistem Kedokteran Nabi

Kesehatan dan Pengobatan Menurut Petunjuk Nabi Muhammad Saw, P.T.

Karya Toha Putra Semarang, Indonesia.

Al-Munjid. 1977. Al-Munjid Fil Lughah, Jamii’ul Huquuqi Mahfudzhoh Daarul

Masyriq, Beirut.

Hamzah, Ibtida’in. Azka, Abu. Al-Haris, Abu. 2003. Fathul Majid Syarah Kitab

Tauhid (edisi revisi), Pustaka Azzam, Jakarta.

Hanan, Abu Ahmad. Tim Ulin Nuha Ma’had ‘Aly An Nur Surakarta. ------.

Dirasatul Firaq, Kajian Tentang Aliran-aliran Sesat dalam Islam, Pustaka Arafah Ngruki Cemani, Solo.

Hassan, A. 1975. Tarjamah Bulughul Maram Beserta Keterangannya Jilid II,

C.V. Diponegoro, Bandung.

Khair, Syafar Abdul. 2004. Do’a-do’a dan Ruqyah dari Al-Qur’an dan Sunnah,

Media Hidayah. Jogjakarta.

Madkour, Ibrahim. 1995. Aliran dan Teori Filsafat Islam, Bumi Aksara, Jakarta.

Majma Al Malik. 1418 H. Al-Qur’an dan Terjemahnya, Mujamma’ Khadim al

Haramain Asy Syarifain al Malik Fahd li thiba’at al Mush-haf asy-Syarif,

Medinah Munawwaroh.

Manan, Imron A. 1982. Pelbagai Masalah Tauhid Populer 1, P.T. Bina Ilmu,

Surabaya.

Matta, Muhammad Anis. -------. Pengantar Studi Aqidah Islam, Litbang Pusat

Studi Islam Al-Manar.

Mubarak, Syaiful Islam. 2004. Kiai Meruqyah Jin Berakting, P.T. Syaamil Cipta

Media, Bandung.

Muhiburrahman, 2004. Ruqyah : Obat Guna-guna dan Sihir, C.V. Daarul Falah.

Jakarta.

Munawwir, Ahmad Warson. 1997. Kamus Al-Munawwir (Arab - Indonesia),

Pustaka Progressif Surabaya, Indonesia.

Rahmat, Asep. 1994. Pedoman Penyusunan Paper, Prosedur dan Langkah-

langkah Penyusunan, Pesantren Persatuan Islam no. 19 Garut, Garut.

Suhardi,Kathur.2003. Syarah Kitab Tauhid : Al-Qaulul Mufid ‘ala Kitabit-Tauhid,

Daarul Falah, Jakarta.

Unais, Ibrahim. Shorliy, ‘Atiyah. Muntashor, Abdul Halim. Ahmad, Muhammad

Khalifullah. 1972. Al-Mu’jamul Wasiit, Daarul Ma’arif.

Zaidun, Achmad. 2002. Ringkasan Hadits Shahih Al Bukhari, Pustaka Amani,

Jakarta.

Zakaria, A. 2003. Tarbiyah An Nisa, Panduan Lengkap Wanita Shalehah, Ibn

Azka, Garut.


BIOGRAFI PENULIS

Nama : Muhamad Ridwan Fauzi

Tempat / Tanggal Lahir : Bandung, 10 Mei 1987

Nama Orang Tua a. Ayah : Pandi

b. Ibu : Komariah

Pekerjaan a. Ayah : Karyawan PT. PLN (Persero)

b. Ibu : Ibu Rumah Tangga

Alamat Lengkap : Jl. Raya Timur no. 75/77 Kp. Sasakdua RT. 01/VII Banjaran – Bandung 40377

Riwayat Pendidikan : 1. Tk Raudlatul Athfal Persatuan Islam

( th 1992 -1993 ).

2. SDN Banjaran II ( th 1993 – 1999 ).

3. Madrasah Ibtidaiyyah Pesantren Persatuan Islam

31 Banjaran ( th 1994 – 2000 ).

4. Tajhiziyyah Pesantren Persatuan Islam 31

Banjaran (th 1999 – 2000 ).

5. Tsanawiyyah Pesantren Persatuan Islam 31

Banjaran ( th 2000 – 2003 ).

6. Mu’allimien Pesantren Persatuan Islam 99

Rancabango Tarogong Kaler Garut

( th 2003 – 2005 ).

Pengalaman Organisasi : 1. Tsanawiyyah Pesantren Persatuan Islam 31

Banjaran :

i. Wakil Sekretaris RG ( th 2001 –2002 ).

ii. Ketua Rijaalul Ghad ( th 2002 – 2003 ).

2. Mu’allimien Pesantren Persatuan Islam 99

Rancabango Tarogong Kaler Garut :

i. Bidgar Penerangan RG ( th 2003 –2004 ).

ii. Pimpinan Redaksi Buletin SURGA (Suara Rijaalul Ghad ) ( th 2003 – 2004 )

iii. Bidgar Tarbiyyah & Da’wah Naqieb

( th 2003 – 2004 ).

iv. Sekretaris BEN ( Badan Eksekutif Naqieb )

( th 2003 – 2004 )

v.

Prestasi yang diraih di

Pesantren Persis 99 Rancabango

Sekretaris ISABA (Ikatan Santri Asal Bandung) ( th 2004 – 2005 ).

Prestasi yang diraih : 1. Juara II Lomba Lintas Alam IV PD. Pemuda

Persis Kab. Garut ( th 2003 ). ‘Clak Adventure’

2. Juara I sekaligus Juara Umum Lomba Lintas

Alam V PD. Pemuda Persis Kab. Garut

( th 2004 ). ‘Clak Adventure’

3. Juara Harapan I Lomba Nasyid se-Kab. Garut.

( th 2004 ). ‘El-Azhar Nasheed’

Lampiran

10 PERINGKAT PAPER TERBAIK

PESANTREN PERSATUAN ISLAM 99 RANCABANGO

TAHUN 2005











PERINGKAT I

MUHAMAD RIDWAN FAUZI

Ruqyah Dalam Pandangan Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah

PERINGKAT II

DANIEL BARKAH

Tahkim Daumatul Jandal

PERINGKAT III

ZAMZAM BADRUZAMAN

PERINGKAT IV

MAFTUH SUPRIADI

Dihapusnya Tujuh Kata dalam Piagam Jakarta

PERINGKAT V

ANDRI JULIANDRI

Asas Tunggal NU


PERINGKAT VI

IRAWATI MAR’ATUS SHALIHAH

PERINGKAT VII

NISA HAYATI

PERINGKAT VIII

NURAZIZAH

PERINGKAT IX

EMA SITI MARDIAH

PERINGKAT X

SITI HANIFAH

Snouck Hurgronje











DAFTAR RALAT PAPER

RUQYAH DALAM PANDANGAN AQIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH

HAL

BARIS

TERTULIS

SEHARUSNYA

HAL

BARIS

TERTULIS

SEHARUSNYA

i

7

AKIDAH

AQIDAH

34

2

al-ma’sur

al-ma’tsur

3

21

Akidah

Aqidah

36

9

-

-

5

12

Akidah

Aqidah

37

19

menucapkan

mengucapkan

5

14

Akidah

Aqidah

38

22

ialallah

ilallah

5

16

Akidah

Aqidah

39

2

hokum

hukum

7

2

unrtuk

untuk

47

22

iotu

itu

8

19

swt

SWT

49

2

bekiau

beliau

8

19

akidah

aqidah

51

15

sebeb

sebab

9

22

tuhan

Tuhan

62

10

tersiri

terdiri

15

28

kaming

kambing

62

16

mengetaui

mengetahui

16

12

meniuonya

meniupnya

62

19

يل

يا

17

19

memohonka

memohonkan

66

1

mebobati

mengobati

30

19

sahabata

sahabat

66

2

mengobatai

mengobati

31

21

goongan

golongan

67

18

mengadi

mengadu

1 komentar:

Unknown mengatakan...

ente nulis blog teh meni acak-acakan beresan atuh. ngerakan pasantren RCB